Wednesday, August 31, 2011

PUASA BULAN RAMADHAN.... Kenapa Harus Berbeda ?

Untuk kesekian kalinya terjadi perbedaan penetapan hari Raya Iedul Fitri di Indonesia. Pada tahun 2011 ini, ada dua versi besar yang merayakan hari kemenangan orang-orang muslim yang bertaqwa tersebut; tanggal 30 Agustus, yang dimotori oleh Pengurus Pusat Muhammadyah dan tanggal 31 Agustus 2011 yang ditetapkan oleh Pemerintah RI melalui Kementerian Agama, setelah pihak Pemerintah menyatakan tidak melihat hilal kemunculan bulan Syawal 1432 pada senja hari tanggal 29 Agustus 2011.
 Ada yang gembira dengan perbedaan yang terjadi tersebut, dan ada yang prihatin. Yang gembira, jelas mereka yang masih berada di perjalanan ke kampung halaman mereka pada tanggal 30 Agustus, keadaan ini tentu memberi peluang kepada mereka untuk tetap bisa berlebaran di kampung halaman mereka dengan handai taulan mereka. Yang prihatin adalah mereka yang berkiblat kepada keputusan Pemerintah dan telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk hari Lebaran yang mereka sangka akan diputuskan pada hari Selasa, namun ternyata diundur sampai satu hari sesudahnya, karena semua makanan yang sudah jauh-jauh hari sudah mereka persiapkan untuk Lebaran tanggal 30 Agustus terpaksa harus disantap semampu mereka kalau tidak ingin  menyantap makanan yang sudah agak basi pada hari Rabu, 31 Agustus; dan konsekwensinya jelas, mereka harus memasak kembali untuk tanggal 31 Agustus atau menghidangkan makanan yang sudah agak kadaluarsa karena sebenarnya sudah harus dikonsumsi pada hari sebelumnya.

Mereka yang mengikuti keputusan Hari Raya Iedul Fitri yang dikeluarkan oleh Pengurus Pusat Muhammadyah bertekad bulat untuk mengikuti Keputusan tersebut karena beberapa faktor:
  • Mereka yakin dengan sistim penetapan tanggal untuk 1 Syawal yang sudah ditetapkan secara hisab oleh banyak pihak sebelumnya, sebagaimana yang sudah tertera jelas pada kalender-kalender yang beredar diseluruh Negara Indonesia.
  •  Pemerintah Arab Saudi dimana Kota Mekah ada didalamnya, juga menetapkan tanggal 30 Agustus 2011 sebagai hari Raya Iedul Fitri /1 Syawal 1432 Hijriyah.
  • Banyak Pemerintahan Muslim di luar Indonesia juga menetapkan tanggal 30 Agustus sebagai Hari Raya Iedul Fitri.
  • Ada juga yang mengikuti Muhammadyah untuk berlebaran setelah 29 hari berpuasa ini karena mereka sudah tidak tahan lagi berpuasa  lebih lama lagi. 
  • Pengurus Pusat Muhammadyah, disamping mengandalkan sistim Hisab, juga menggandalkan padangan hilal melalui satelit untuk mendapatkan akurasi yang lebih tinggi untuk membuktikan keakuratan hasil hisab yang sudah ada.
Fakta-fakta diatas adalah fakta-fakta yang terjadi di lapangan yang tidak bisa dibantah yang membuat banyaknya pengikut Putusan Pengurus Pusat Muhammadyah dalam penetapan 1 Syawal pada tahun 2011 ini.
Sementara disisi lain, mereka yang menanti keputusan Pemerintah untuk hari yang sakral ini, mentaatinya dengan 2 cara:
  • Mentaatinya dengan  menggenapkan bilangan puasa mereka hingga 30 hari, dan siap untuk berlebaran pada hari Rabu, tanggal 31 Agustus 2011.
  • Ragu-ragu, sehingga ada yang bertindak untuk tidak lagi berpuasa pada tanggal 30 Agustus, tapi tidak ikut berlebaran dengan mereka yang mengikuti Keputusan PP Muhammadyah, karena mereka akan berlebaran pada hari Rabu, sesuai dengan Keputusan Pemerintah. 
  • Dan tidak sedikit juga yang dengan tanpa ragu melaksanakan poin kedua diatas, dan mengatakan apa yang mereka perbuat itu adalah benar. 
Harus diakui ini bukan kali yang pertama hal ini terjadi. Kita rakyat kecil tidak paham apa sebenarnya yang terjadi. Ditambah lagi dengan satu statement dari seorang tokoh di Negara ini kalau ada kepentingan dan maksud-maksud politik dibalik kedua perbedaan tersebut. Kita tak tahu pasti, kepentingan politik macam apa yang telah diperbuat oleh orang-orang yang dimaksud; menguntungkan siapa, untuk siapa, dan mengapa harus dilakukan. Satu hal penilaian yang didapat oleh rakyat adalah, sudah separah itukah buruknya akhlak elit-elit politik di negara ini, sehingga mereka dengan tanpa takut dosa kepada Allah Subhanahu wata'ala menggunakan Agama Islam untuk mendompreng maksud politik mereka  ? Masya..Allah ! Apakah masih mungkin buat kita kedepan untuk mendapatkan ketetapan untuk hal seperti ini yang jauh dari kepentingan politik sesaat, dan dipaparkan secara objektif ? Wallaahu 'alam....!  

Monday, August 29, 2011

HAJI...UMRAH...Mana Yang Harus Didahulukan....?


Bisa menunaikan ibadah haji merupakan obsesi yang harus dimiliki oleh semua umat Islam, walaupun pada kenyataannya hanya mereka yang mampu sajalah yang bisa menunaikan rukun dari Agama Islam yang kelima tersebut, namun demikian setiap muslim seharusnya sudah menanamkan niat didalam dada mereka untuk menunaikan ibadah yang satu ini tak peduli apakah niat tersebut akan bisa mereka wujudkan atau tidak.
                Kenyataan dilapangan selama ini menunjukkan kalau mereka yang bisa menunaikan ibadah yang satu ini (terutama jamaah yang berasal dari Negara kita) pada umumnya adalah mereka yang kaya atau sudah mengumpulkan cukup uang untuk menunaikannya; atau setidaknya adalah mereka yang diberangkatkan dalam konteks kedinasan sebagai salah seorang petugas haji didalam kloter mereka, alias haji dinas bin gratis. Tapi bagaimana dengan hamba-hamba Allah lain yang sangat ingin sekali merasakan nikmatnya sholat di Mesjidil Haram, ditambah dengan pelaksanaan ritual-ritual lain dalam berhaji tersebut, namun dikarenakan beberapa keterbatasan mereka tidak bisa mewujudkannya ? Hal inilah yang harus kita cermati.
                Ada satu fakta yang terlihat dengan umat Islam dinegara kita pada saat ini, yaitu meningkatnya animo mereka untuk melaksanakan ibadah haji ketanah suci Mekah, saking besarnya animo tersebut menyebabkan munculnya daftar tunggu yang lumayan panjang buat calon jama’ah sampai beberapa tahun kedepan. Yang menggembirakan dalam hal ini adalah fakta tersebut berarti taraf perekonomian orang muslim dinegara kita semakin tinggi dari waktu-kewaktu, sementara yang menyedihkan adalah banyaknya mereka yang terpaksa menahan diri untuk melaksanakan ibadah yang satu ini walaupun pada kenyataannya mungkin mereka sudah sangat siap lahir bathin pada tahun ini.
                Dalam pengamatan saya, ada satu hal yang selalu terjadi pada setiap orang yang sudah pernah melaksanakan haji yaitu keinginan untuk kembali lagi ketanah suci untuk melaksanakan ibadah yang sama untuk kesekian kalinya. Saya belum pernah mendengar ada orang Islam yang kembali dari Arab Saudi dimana tanah Haram tersebut berada jera untuk kembali lagi kesana. Meski didera oleh banyak masalah bagi beberapa jama’ah, namun keinginan untuk menginjakkan kaki kembali di Masjidil Haram tidak pernah susut dihati setiap orang Islam. Namun karena kuota haji yang telah ditetapkan oleh pemerintah Arab Saudi buat jama’ah asal Negara ini, membuat mereka yang sudah pernah berada disana (tanah suci) dipaksa harus menahan hati untuk dapat kembali berhaji, karena yang ingin melaksanakan Haji; mereka yang belum pernah melaksanakan ibadah itu pada saat ini berada dalam antrian panjang untuk mendapatkan giliran.
                Kondisi yang terjadi diatas cukup memprihatinkan buat saya, karena keadaan itu menunjukkan seakan-akan mereka menganggap cuma ibadah haji yang bisa mengantarkan mereka ke Makatul Mukarromah. Padahal sebenarnya mereka bisa pergi kesana kapanpun mereka mau untuk melaksanakan ibadah umrah, tidak penuh sesak seperti saat melaksanakan ibadah haji, lebih nyaman, dan juga lebih memungkinkan mereka untuk mengenal lokasi-lokasi dimana ibadah haji dilaksanakan dengan lebih baik, termasuk dalam hal ini mengenal tanah suci Mekah dan wilayah-wilayah sekitarnya dengan lebih baik. Tambahan lagi, biaya untuk melaksanakan ibadah Umrah ini jauh lebih murah dari haji; dengan uang paling sedikit -- 13 juta rupiah seorang Muslim di Indonesia sudah bisa berangkat ke Tanah Suci Mekah untuk bermunajat di Ka’batullah dan menginapnya di Hotel berbintang.
                Satu hal yang harus disadari oleh semua Muslim adalah Nabi Muhammad S.A.W sendiri tidak pernah membedakan antara fadhilah antara Ibadah Haji dan Umrah, dalam artian dia tidak menyebutkan kalau ibadah haji itu lebih baik dari pada melaksanakan umrah, ataupun sebaliknya Ibadah Umrah itu lebih baik daripada haji, dan kita diminta oleh Nabi untuk melaksanakan salah satu diantaranya, sekurang-kurangnya sekali seumur hidup jika Allah memberi kemampuan kepada kita untuk melaksanakannya. Artinya bagi yang ingin menunaikan ibadah Haji namun memiliki keterbatasan sebaiknya cukup dengan melaksanakan ibadah Umrah.
                Melihat besarnya animo umat Islam dinegara kita saat ini untuk melaksanakan ibadah haji, memang sudah saatnya buat pemerintah untuk meberlakukan haji pada masa berikutnya hanya buat mereka yang belum pernah melaksanakan ibadah ini, sementara bagi mereka yang sudah pernah, sebaiknya melepas kerinduannya untuk menginjakkan kaki di Tanah suci dengan ibadah Umrah yang dilakukan diluar musim haji. Silahkan melakukannya setiap tahun, dan kalau perlu setiap bulan, mumpung belum ada batasan untuk melaksanakan ibadah ini seperti halnya Haji.
                Tidak ada masalah buat kita untuk melaksanakan umrah ini sebelum melaksanakan ibadah haji, ataupun sebaliknya, dia dilaksanakan setelah kita terlebih dahulu melaksanakan ibadah haji. Kalau Ibadah Umrah dilaksanakan sebelum kita mampu melaksanakan ibadah haji, kita akan lebih memahami kondisi lapangan jika kita suatu saat nanti diizinkan Allah untuk melaksanakan Rukun Islam yang kelima tersebut. Dan kalau kita melaksanakan ibadah Umrah ini sesudah melaksanakan ibadah haji, maka sebagaimana yang dituturkan diatas kepergian kita ke Mekah setelah itu akan mampu memupus kerinduan kita terhadap Ka’batullah.
                Yang yang tidak kecil pula artinya adalah, sipemilik dana untuk menunaikan ibadah haji ini (maksudnya mereka yang sudah pernah naik haji diatas)  bisa saja memberikan uangnya tersebut untuk membiayai orang lain yang tidak mampu dalam hal keuangan untuk melaksanakan ibadah ini tapi dia mampu secara fisik (lahir dan bahin).     Karena nilai ibadah yang didapatkan oleh orang yang dibiayainya tersebut juga akan diperolehnya tanpa mengurangi pahala orang yang dihajikannya tersebut. Artinya jika orang dihajikannya tersebut mendapatkan haji yang mabrur, maka dia sebagai orang yang membiayai juga akan mendapatkan pahala haji mabrur orang tersebut, dan tak ada yang tahu kalau nlai ibadah haji orang yang dihajikannya tersebut lebih baik dari yang pernah dilakukannya; artinya, dia juga akan memperoleh pahala yang lebih banyak karena telah menghajikan orang yang lebih dari dirinya sendiri.
                Apalagi kalau masing-masing kita (terutama mereka yang memiliki kesanggupan untuk melaksanakan ibadah haji ini setiap tahun) bisa bercermin terhadap lingkungan sekitar kita yang masih banyak orang yang miskin dan melarat. Adalah jauh lebih baik jika uang yang diniatkan untuk menunaikan ibadah haji untuk yang kesekian kalinya tersebut  disedekahkan kepada tetangga-tetangganya yang miskin. Tak sedikit riwayat/hadist Nabi yang menyebutkan keutamaan melakukan hal-hal seperti ini. Logikanya jelas, bagaimana Allah akan memberikan haji yang mabrur kepada orang-orang seperti ini jika kepergiannya melukai hati orang-orang yang sebenarnya sangat membutuhkan uang yang dibelanjakannya untuk keperluan  ibadah tersebut. Mungkin peristiwa kelaparan (rebutan nasi bungkus) yang menimpa sejumlah jama’ah haji kita beberapa waktu yang lalu merupakan sebentuk teguran buat kita bersama terhadap keadaan ini. Wallaahu ‘alam….!

Sunday, August 21, 2011

MASALAH HARTA PUSAKA di RANAH MINANG


Dalam satu kesempatan menonton sebuah acara santapan rohani Islam di sebuah stasiun TV swasta nasional, ada seorang pemirsa yang bertanya kepada narasumber acara tersebut; katanya, dia adalah orang keturunan Padang (Minang) – kedua oangtuanya berasal dari propinsi Sumatera Barat. Inti pertanyaannya adalah, dia merasa bingung untuk menentukan sikap terhadap harta warisan peninggalan kedua orangtuanya; katanya, di Ranah Minang itu kan, harta warisan itu turun-temurun jatuh kepada pihak perempuan dalam sebuah keluarga – dan anak laki-laki tidak mendapatkan bagian; sementara, semua saudara laki-lakinya ngotot untuk mendapatkan hak mereka dari harta peninggalan tersebut dan dibagi menurut syari’at Islam. Beruntung, nara sumber pengasuh acara tersebut bisa menjawab secara bijak pertanyaan tersebut dengan mengarahkan penyelesaian konflik orang bersaudara tersebut kepada ilmu waris Islam (Faraidh).

            Saya cukup prihatin mendengar ungkapan hati perempuan tersebut dan berguman, “inilah akibatnya apabila orang Minangkabau  atau keturunan ras unik di seantero Nusantara ini bila hanya punya wawasan yang sangat dangkal bahkan keliru tentang adatnya, terutama dalam hal ini mengenai hakikat harta pusaka di alam Minangkabau. Akibat salah kaprah orang-orang macam ini, saudara laki-laki mereka akhirnya menjadi korban dan terzalimi akibat kebodohan mereka. Lebih celakanya lagi, cara pandang yang salah seperti ini sudah menyebar kepada mereka yang notabenenya bukan orang Minangkabau yang pada akhirnya mencap perempuan Minang rakus akan harta peninggalan keluarganya.

            Lalu, bagaimana sebenarnya hakikat pembagian waris (pusaka) yang sebenarnya pada kaum yang katanya berasal dari puncak gunung Merapi tersebut ? Didalam adat Minangkabau, ada dua macam harta pusaka; pusaka tinggi dan pusaka rendah.



 Harta pusaka tinggi adalah  harta warisan yang diperoleh secara turun-temurun dari pihak perempuan dalam sebuah sebuah rumah gadang di ranah Minang. Harta tersebut, kalau ditelusuri kearah pangkal, dibeli atau diusahakan oleh nenekmoyang keluarga tersebut untuk menghidupi anak-kemenakan mereka yang menghuni rumah gadang yang mereka tegakkan – termasuk juga didalamnya untuk membiayai operasional pemeliharaan rumah bagonjong dimaksud.


 Pusaka rendah adalah harta warisan peninggalan kedua orangtua (tidak beda, salah satu diantara keduanya, maupun kedua-duanya); atau bisa juga harta peninggalan saudara, anak, cucu dan lain  sebagainya. Pokoknya, pusaka yang satu ini merupakan jenis harta warisan yang harus dibagi menurut hukum Islam yang semuanya tertulis jelas dalam kitab Faraid – bagian ilmu Fiqih yang membahas tentang teknis pembagian harta warisan bagi umat Islam – terutama sekali buat mereka-mereka yang masih punya ghirah (harga diri) sebagai orang Islam (mengenai hal ini, sudah saya tulis dalam blog ini pada bagian lain).
            Sebagaimana yang saya tulis diatas, tentang pusaka tinggi; property atau harta-benda yang diwariskan oleh nenekmoyang sebuah rumah gadang bertujuan untuk menghidupi keturunan mereka yang menghuni, menghidupkan, merawat, menjaga atau memakmurkan rumah gadang yang mereka dirikan. Harta pusaka tersebut sekaligus merupakan sebagai pengikat keturunan mereka agar tidak turun (berangkat) dari rumah yang sudah dengan sangat susah payah mereka bangun bersama-sama dengan orang-orang sesuku, bahkan mungkin se-Nagari. Sehingga, tidak ada alasan buat saudara atau kerabat mereka yang memakmurkan rumah adatnya ini untuk iri dan dengki dengan kondisi ini karena itu memang sudah hak mereka yang menghuni rumah gadang tersebut. Ini juga yang merupakan salah satu alasan, kenapa banyak ninik mamak dibanyak Nagari di ranah ini yang melarang keras kaumnya untuk menikah dengan laki-laki dari luar daerah mereka; karena jika ini terjadi, maka kemenakan perempuannya akan beresiko untuk dibawa turun oleh suaminya dari rumah gadang dimana mereka dilahirkan. Pada kasus yang lebih ekstrim, tidak sedikit ninik mamak yang mengharamkan pusaka tinggi ini  buat perempuan-perempuan yang berasal dari rumah gadang mereka jika mereka tidak mau tahu lagi dengan tanah asalnya.  
            Bagi kaum atau rumah gadang yang memiliki pusaka tinggi yang lumayan banyak, pada beberapa daerah di Minangkabau, biasanya keluarga atau kaum itu akan mengangkat seorang penghulu atau Datuek untuk kalangan mereka. Untuk biaya pengangkatan / alek ini, biayanya diambil dari hasil pusaka tinggi tersebut. Dan setelah Datuek tersebut resmi diangkat, dia diberi beberapa bidang tanah pada pusaka tinggi keluarga asalnya untuk menopang hidupnya sebagai seorang penghulu. Jadi, kedepannya, dia tidak perlu meminta-minta uang kepada kemenakan atau kaum kerabatnya untuk menanggulagi biaya suatu urusan. Dan, jika suatu saat nanti dia meninggal dunia, pusaka itu harus dikembalikan kepada keluarganya (rumah gadang yang malewakannya) untuk diturunkan kepada penghulu (kemenakan) yang menggantikannya. Artinya, pusaka tinggi tersebut ditangan si Datuek berstatus hak pakai – bukan hak milik yang bisa seenaknya di jual apabila suatu saat dia terdesak oleh kebutuhan ekonomi.Begitu-lah vitalnya peran pusaka tinggi ini dalam menopang hidup orang Minangkabau dikampung halaman.
            Pada saat ini  banyak rumah gadang di kampung-kampung yang terdapat diseantero ranah Minang ini yang kosong, melapuk, dan akhirnya runtuh karena tidak dimakmurkan, dihuni dan dirawat ; salah satu penyebabnya adalah kedengkian-kedengkian seperti diatas. Mereka-mereka ini mengusahakan segala cara agar dunsanak mereka yang telah susah payah membina rumah gadang mereka di kampung untuk angkat kaki dari sana, salah satunya dengan mengkoar-koarkan jatah dan hak mereka atas ruang di rumah yang umumnya dibangun secara sakral tersebut, kamar yang entah kapan akan mereka huni. Setelah rumah gadang diserahkan betul kepada orang yang dirantau ini, ternyata mereka tidak bisa berbuat apa-apa untuk mempertahankan eksistensinya yang semuanya kemudian berakhir dengan kesia-siaan. Seandainya, nenek moyang yang mendirikan rumah itu bisa dihidupkan kembali, saya yakin, mereka akan mengutuk semua tindakan yang menyia-nyiakan semua upaya mereka ini.
            Bagi yang masih punya hati terhadap rumah gadang ini, mereka akan melakukan segala upaya agar jenis hunian ini tetap bisa berdiri tegak untuk  memperlihatkan eksistensi keluarga mereka kepada orang kampung. Jika tidak memungkinkan keluarga mereka sendiri yang menghuni rumah tersebut, mereka akan berusaha untuk membayar orang lain untuk merawatnya dan bila diperlukan, melakukan renovasi total terhadap rumah tersebut supaya lebih kuat; dan tentu saja untuk mewujudkan semua itu, dana utama diabil dari pusaka tinggi rumah gadang yang bersangkutan. Tapi bagi yang tidak lagi punya hati dan punya muka tembok, mereka dengan santai dan tanpa beban menyimpan rasa malu dan segan mereka kepada orang kampung dalam dompet mereka untuk menggadaikan bahkan menjual semua pusaka tinggi rumah gadang mereka termasuk rumah gadang itu sendiri demi untuk memenuhi nafsu serakah mereka terhadap harta pusaka tinggi yang dimiliki oleh keluarga mereka. Putus kekerabatan karena ketamakan macam ini. Bagi orang-orang ini kerabat mereka adalah uang dan harta benda; hal-hal yang nantinya pasti akan mereka tinggalkan jika mereka menutup mata untuk selama-lamanya.
            Adalah sangat memalukan sekali jika hasil tanah pusaka tinggi dipakai oleh mereka yang mengaku sebagai orang Minang untuk menghidupi diri dan keluarganya dirantau orang, sementara mereka menyia-nyiakan rumah gadang mereka dikampung asal mereka. Mereka mencari-cari akal bagaimana caranya agar suatu saat, mereka atau keturunan yang mereka inginkan bisa memiliki seutuhnya pusaka tinggi tersebut, tidak lagi berbagi dengan orang lain, misalnya dengan jalan men-sertifikatkan tanah pusaka tinggi tersebut pada status hak milik. Mereka tertawa terbahak-bahak menikmati hasil jerih payah nenek moyang mereka ini bersama anak cucu mereka yang mereka sendiri tidak tahu lagi dengan kampung halaman orangtua atau neneknya. Bahkan, kebanyakan, orang-orang macam ini, anak-anak atau generasi penerus mereka tidak pernah diberitahu asal-usul mereka secara jelas, sehingga jangan heran jika ditanya mereka sukunya apa atau Datuek-nya siapa, mereka tidak akan bisa menjawab.
            Polemik tentang harta pusaka ini pulalah yang membuat banyak laki-laki Minang yang merantau chino; meninggalkan kampung dan tak pernah balik-balik lagi, menghabiskan umur mereka di negeri orang. Mereka banyak yang merasa dianggap tidak ada dalam keluarga mereka, karena banyak yang dipandang bak satpam; apabila berbicara tentang hak-hak atas pusaka itu ruang-nya mereka yang perempuan,  tapi jika si-perempuan tersandung masalah, barulah yang laki-laki ini dianggap ada, mengadu semuanya pada mamak mereka.
            Sekarang kita masuk ke ranah pusaka rendah; harta yang merupakan warisan salah satu atau kedua orangtua atau bisa juga  mereka yang memiliki hubungan darah lain dengan si ahli waris sesuai dengan kaidah yang telah diatur oleh kitab pembagian waris orang yang beragama Islam (Faraid). Yang paling umum diketahui adalah, bagian anak laki-laki itu dua kali dari jatah yang seharusnya diperoleh oleh saudaranya yang perempuan. Dan apabila jatah ini sudah sampai ketangan masing-masing ahli waris, tentu semua itu akan menjadi hak milik mereka. Terserah mereka untuk melakukan apapun terhadap jatah mereka tersebut, apakah dengan mengelolanya, menggadaikannya, menjualnya, atau bahkan menghibahkan kepada orang-orang  yang disenanginya.
            Konflik biasanya terjadi apabila ada usaha dari pihak waris perempuan untuk mengulir-ulur waktu dalam membagi harta warisan jenis ini; dengan berbagai alasan yang dibuat-buat. Kondisi ini merupakan, intrik-intrik negatif yang dilakukan untuk menambah pusaka tinggi dalam keluarga mereka.
            Singkatnya, apabila ditemukan masalah tentang pusaka tinggi dalam suatu kaum, kembalikanlah fungsi puska tersebut untuk memakmurkan rumah gadang; dan apabila ditemukan masalah dengan pusaka rendah, kembalilah kepada Allah dan rasul-Nya dengan mencermati kembali kitab fiqih pada bab faraidh.
            Semoga bermanfaat…!
                                       Payakumbuh, 21 Safar 1432 - 26 Januari 2011