Tak banyak generasi Kumango zaman
sekarang yang tahu nama ini barangkali. Kecuali mereka yang umurnya sebaya
dengan saya, atau yang lebih tua. Apalagi jika disebutkan julukan untuk beliau
yang lebih popular dikenal di Kumango, Angku Anda; maka generasi yang saya
maksud akan lebih kenal dengan sosok ini.
Beliau adalah Datuk (Kakek) saya, Orang
Piliang Laweh; dilahirkan di Kumango pada tahun 1902 dan wafat di Kota Lahat
(Sumatera Selatan) pada akhir tahun 1995 dalam usia 93 tahun. Dua huruf
pertama, PS, pada awal nama beliau
adalah gelarnya, Pakieh Sutan, yang sangat dihargainya seumur hidupnya,
sehingga, jika ada orang yang menulis namanya tanpa kedua huruf itu, dia akan
marah besar dan mengatakan, “ada banyak orang yang bernama Syamsuddin di dunia
ini, namun hanya ada satu PS.Syamsuddin.”
Masyarakat Propinsi Sumatera Selatan
mengenalnya sebagai salah seorang Perintis
Kemerdekaan Republik Indonesia dari
kota Lahat, hal ini dikukuhkan oleh Surat Keputusan Pemerintah Republik
Indonesia melalui SK Menteri Sosial pada tahun 1975; Artinya, beliau
mendapatkan pengakuan dari pemerintah setelah berada pada umur 73 tahun. Sejak
saat itu dia mendapatkan tunjangan hidup sebagai seorang perintis kemerdekaan
dari pemerintah ditambah dengan hadiah sebuah rumah di Pusat kota Palembang.
Masa kecilnya dihabiskannya bersama
Ayahnya, Ismail Pakieh Marajo, yang tak lain juga merupakan Inyiek oleh saya di Kota Padang Panjang. (karena Ayah
dari Datuk saya ini adalah Mamak dari Nenek saya Salamah Ibrahim; artinya dengan
menikahi Nenek saya dia pulang ka Bakonya di Rumah Godang Balakang, Supanjang
Ilie). Karena susahnya perekonomian keluarga pada masa itu, dengan hanya
mengandalkan pendapatan sebagai seorang tukang pati, Datuk saya ini hanya bisa
disekolahkan oleh Ayahnya sampai Governemen School (selevel dengan SD pada
zaman sekarang).
Tak lama setelah menamatkan sekolah
Belanda tersebut, ketika memasuki usia remajanya, dia membuat sebuah keputusan
besar dalam hidupnya, pergi merantau keluar dari Ranah Minang yang cukup
membuat shock Ayahnya yang pada saat itu sudah memasuki usia senja.
Tak banyak yang saya ketahui daerah
rantau pertama yang dijajaki oleh Datuk saya sesudah itu, yang saya simpulkan
hanya satu hal dari setiap kali dia bercerita kepada saya ditiap kesempatan
saya bertemu dengannya, baik disaat dia pulang kampung ke Kumango maupun pada
kesempatan lain saya menghabiskan beberapa masa kecil saya di kota Lahat pada
tahun 1975, maupun pada setiap waktu liburan sekolah ketika saya masih duduk di
SMP Negeri Kumango dari pertengahan tahun 1983 – pertengahan tahun 1986; …..
dia adalah Rambo yang sebenarnya. Bukan tokoh fiktif seperti yang
diperankan oleh Silverster Stalone dalam film Rambo-nya.
Kenapa saya katakan beliau adalah Rambo
yang sebenarnya ? Begini kisahnya. Ini berawal ketika dia melihat seorang
sahabat karibnya ditembak mati oleh Belanda karena temannya tersebut berusaha
melarikan diri disaat akan ditangkap oleh tentara Belanda. Ya, temannya
tersebut adalah seorang pemberontak Belanda pada masa itu. Semua itu terjadi disaat
dia masih belajar bagaimana caranya menjadi seorang pedangang yang sukses.
Pemandangan itu cukup memberikan trauma yang berat padanya, hingga semua
perasaan itu berubah menjadi dendam kesumat kepada semua tentara Belanda.
Dari sinilah dimulai tahap kehidupannya
yang berikutnya, sejak saat itu, hanya ada satu hal yang terbersit dalam
pikirannya apabila melihat atau bertemu dengan tentara Belanda, membunuh
mereka. Dan itu dilakukannya pada setiap kesempatan, yang mengakibatkan dia
menjadi salah seorang buronan prioritas utama dari Penjajah Belanda pada masa
itu. Dan yang paling membuat sakit hati Penjajah Belanda pada saat itu, setiap
kali Datuk saya ini berhasil mereka tangkap hidup-hidup, dia selalu mampu
meloloskan diri, dan lolosnya dia ini juga diiringi dengan berhasilnya dia
menghabisi sejumlah tentara (kondisi ini terjadi pada masa sebelum
Kemerdekaan).
Predikat sebagai sosok yang “the most
wanted” dari penjajah itulah yang membuatnya akhirnya pindah dari satu tempat ke tempat lain di seluruh Indonesia ini. Sehingga,
apabila berbicara tentang seluruh wilayah di Negara ini, akan sangat nyambung
sekali dengannya. Dari seluruh wilayah Indonesia, hanya pulau Irian (Papua)
yang belum pernah dijajakinya. Walaupun itu pernah hampir terjadi, ketika dia
akan dibuang oleh Belanda ke Digul, Irian Jaya, namun dia berhasil melarikan
diri sebelum kapal yang membawanya sampai kesitu. Kondisi ini pulalah yang membuatnya memiliki 17
(tujuh belas) orang istri, artinya
saya punya 17 orang Nenek;
·
3
(tiga) orang dari Kumango; yang pertama
saya tidak tahu namanya, yang kedua adalah Nenek saya, Salamah Ibrahim yang
dinikahinya sekitar tahun 1931 dan dari Nenek saya, Datuk saya mendapatkan 9
(sembilan) orang anak dan yang ketiga adalah Nenek Ramalah (orang Dalimo); dari
nenek saya yang satu ini, Datuk saya dikaruniai 2 (dua) orang anak.
·
Istrinya
yang 14 lagi saya tidak ingat secara pasti, tapi yang paling berkesan buat
beliau adalah Istrinya yang berasal dari Gresik
(Jawa Timur), karena dari istrinya ini dia
memperoleh dua orang anak (sepasang). Datuk saya terpisah dengan mereka
ketika dia dalam pengejaran Belanda hingga perahunya terbalik di dekat Pulau
Bawean, dan dia dikabarkan gugur yang membuat istrinya tersebut sangat terpukul
dan membawa kedua anaknya keluar dari Kota Gresik. Padahal sebenarnya, setelah
kejadian tersebut, Datuk saya ini diselamatkan oleh beberapa orang Nelayan dan
di bawa ke Singapura. Setelah pulih, dia kembali ke Gresik mencari Istri dan
kedua anaknya tersebut, namun mereka tidak pernah dia temukan. Sekitar 14 tahun
sejak kejadian itu, dia mendapatkan kabar kalau anak laki-lakinya tersebut
mengikuti jejaknya sebagai pejuang dan gugur ditembak oleh Belanda dalam
peristiwa Ambarawa. Yang paling membuat pilu hatinya adalah berita yang
didapatnya tentang anak perempuannya, dia dinikahi oleh seorang Pemuka Agama
Kristen (saya tidak tahu pasti Katholik atau Protestan) di kota Manado pada
tahun 1947. Semua kondisi inilah yang mungkin membuatnya sangat “down” hingga
akhirnya Belanda berhasil kembali menangkapnya pada masa Agresi sesudah
Kemerdekaan ini; dia disiksa habis-habisan yang menyebabkan sebelah matanya (kanan)
tidak pernah lagi bisa digunakannya sampai akhir hayatnya. Walaupun akhirnya
dia masih tetap bisa melarikan diri dan menghabisi 2 orang lagi tentara
Belanda. Sampai menjelang akhir hayatnya, dia masih berusaha untuk mendapatkan
kabar tentang anaknya yang di Manado tersebut, namun tak ada hasil.
·
Istrinya
yang lain yang sangat suka dia mengulang-ulang ceritanya pada saya adalah
berasal dari Suku Dayak yang berada di sebuah Hulu sebuah di Kalimantan (saya lupa menyakan pada beliau nama Sungai
itu, namun kalau tidak salah dia pernah menyebut sebuah tempat yang bernama Loh
Meriem jika menceritakan babak hidupnya yang ini). Berawal dari
keinginannya untuk menjalin hubungan bisnis dengan orang melayu yang berada di
hilir sungai, dia kemudian tertantang untuk menjajaki lebih jauh hubungan
dagang dengan komunitas suku dayak yang tinggal tidak jauh tinggal dari situ;
melihat hasil yang lumayan dia akhirnya dia lebih tertantang lagi untuk mencoba
menjajakan dagangannya kepada suku dayak yang hidup di hulu sungai itu. Dari
sinilah cerita lain dimulai. Sebelum memutuskan berangkat ke tengah pemukiman
suku dayak tersebut, dia sudah diperingatkan oleh teman-temannya
pantangan-pantangan yang harus dijaganya selama berada ditengah-tengah mereka
(orang Dayak dimaksud), namun setelah berada disana dia kecoplosan, hingga dia
diultimatum oleh kepala sukunya dan diberi 2 pilihan sebagai hukuman, nyawa
melayang (dipenggal kepalanya) atau memilih hidup dengan mereka dengan
memperistri salah satu dari gadis yang mereka sodorkan. Tentu dia memilih opsi
yang kedua. Tinggal-lah dia disana selama beberapa lama bersama istri barunya,
sampai akhirnya dia menemukan kesempatan untuk kabur dan keluar dari kelompok
tersebut.
·
Istrinya
yang 12 orang lagi yang saya tahu 2 orang berasal dari tanah pasundan (orang
Sunda). Dan sisanya, yang 10 orang kalau tidak salah berasal dari Meulaboh,
Aceh; Tapak Tuan, Aceh; Deli Serdang; Jawa Tengah; Halmahera dan Ternate.
Datuk
saya ini adalah seorang jagoan Silat Tua
Kumango 1.) (aliran Silat Kumango
yang sudah ada sebelum Silat Kumango versi Syech
Abdurrahman Al-Khalidi dikembangkan). Hal ini mungkin tidak diketahui
oleh banyak masyarakat Kumango bahkan anak cucunya yang lain. Ada tiga orang
Kumango yang saya ketahui dan pernah bertemu dalam hidup saya yang menguasai
Silat Tua ini, yaitu Datuk saya ini, Datuek Amik Polak – sepupunya, dan Datuek
Mam Biloa (kakeknya Doni Saputra). Dia berkali-kali menegaskan kepada saya kalau
dia tidak pernah belajar Silat Kepada Syech Abdurrahman dan aliran Silat yang
dikuasainya tidak sama dengan yang dimiliki oleh Angku Surau Subarang. Dia
hanya mengatakan, pernah mengulang-ulang langkah sebentar dengan Angku Surau
Subarang tersebut.
Semua
cerita petualangannya dan gerilyanya keseluruh Indonesia tersebut ditambah
dengan kepiawaiannya menghabisi semua tentara Belanda yang ditemuinya-lah yang
mendorong saya sejak saya kecil (umur 6 tahun), ketika saya mau masuk ke TK
Bustanul Athfal untuk belajar Silat padanya, namun dia berdalih jika pada saat
itu saya masih kecil. Ketika saya berumur 8 tahun, keinginan itu kembali saya
utarakan ketika suatu ketika dia pulang kampung, dia masih mengatakan hal yang
sama. Disaat saya sudah duduk di kelas V SD, dia mengatakan tidak ingin saya,
cucunya seperti dia, dan dia menyuruh saya mencari guru yang lain. Hingga
akhirnya Mak Ai / Mak Tuah ( Alm.) 2.) membuka pintu pada saya untuk
menjadi muridnya
Setelah
saya belajar dengan Mak Ai, ternyata dia cukup antusias untuk mengetahui
bagaimana Silat yang saya pelajari, termasuk ketika saya mencoba belajar
kembali dari awal dengan Mak Kin (Zakir) 3.). Namun yang selalu membuat kuping saya
panas, setiap saat saya selesai menunjukkan semua yang sudah saya pelajari, dia
selalu mengakhirinya dengan satu kalimat: kalau semua yang saya dapatkan masih bunganya
3) silat Kumango, belum lagi Silat Kumango yang sebenarnya.
Pada
zaman penjajahan Jepang, Datuk saya ini kembali ke Kota Lahat. Kota yang sudah
mulai dijajakinya sejak tahun 1923. Dia mencoba mengumpulkan kembali
puing-puing usahanya yang terbengkalai ketika Belanda berkuasa. Ketika masa
penjajahan Jepang, Datuk saya ini beristirahat dari kegiatan gerilya-nya. Dia
berpikir, musuh besarnya, kelompok manusia yang sangat dibencinya, Belada,
sudah angkat kaki dari bumi Indonesia, diusir oleh tentara Jepang. Pada usianya
yang pada saat itu sudah masuk kepala 4, dia ingin mencoba hidup tenang setelah
sekian lama dikejar-kejar oleh tentara penjajah Belanda. Satu hal yang sangat
menyenangkan hatinya saat itu adalah, semua orang yang menjadi musuh utama
Belanda pada saat itu sangat dihormati oleh Penjajah Jepang, termasuk dia
sendiri. Sehingga, dia bisa pergi kemanapun yang dia mau; lalu lalang,
bolak-balik dari Lahat ke Kumango selama zaman penjajahan Jepang dengan aman,
tidak diusik oleh tentara Jepang. Sehingga, pemandangan yang kontras terlihat
jelas pada kehidupan keluarganya pada masa itu di Kumango: disaat banyak orang
lain hidup dalam penderitaan gara-gara kekejaman kelompok orang yang menjajah
selama 3.5 tahun ini, dia tetap bisa menghidupi istri dan anak-anaknya secara
normal, baik sandang maupun pangan. Hal ini tentu membuat heran orang Kumango
yang lain, karena tentara Jepang, tidak berani menyentuh keluarga kami. Kondisi
tenang seperti ini masih tetap bisa dinikmatinya sampai bererapa lama sesudah
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di umumkan oleh Presiden Soekarno dan
Sahabatnya, Bung Hatta 5).
Namun
semuanya berubah total ketika Belanda kembali berhasil masuk ke Indonesia
dengan membonceng pada tentara Sekutu sehingga terjadi penjajahan jilid II
dengan judul agresi Belanda dengan tentara NICA-nya. Yang memaksanya untuk kembali “turun gunung” pada usia yang tidak bisa
dibilang muda lagi. Dan salah satu agenda kembalinya penjajah Belanda ke
Indonesia pada masa itu, selain untuk merampas kembali kemerdekaan Indonesia
yang sudah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, juga untuk balas dendam
padanya (Datuk saya ini). Sehingga, terjadilah peristiwa yang saya utarakan
diatas (pasca tertembaknya anak laki-lakinya di Ambarawa).
Ketika
Belanda berhasil kembali diusir dari Bumi Pertiwi ini, dia kembali ke Kota
Lahat, Meneruskan usahanya untuk menafkahi istri dan anak-anaknya. Di Kota
Lahat, dia berdagang tekstil dan pakaian jadi di Pasar Lematang, dan dari hasil
usahanya setelah sekian lama, Allah memberinya karunia untuk memiliki 2 buah
rumah di kota pendidikan itu, yaitu di Pasar Bawah dan di Lorong Kelana; rumah
yang sangat sederhana, jauh dari kesan mewah. Keberadaannya di kota Lahat yang
sudah sangat lama sekaligus telah banyak menarik perantau Minang lain mencoba
peruntungan di kota ini, termasuk beberapa keponakan dan cucunya yang pada saat
ini sudah banyak menetap di kota tersebut.
Ketika
mulai melewati umur 50 tahun, setelah melewati trauma akibat agresi Belanda, Beliau
sudah sering mengatakan kepada anak dan istrinya bahwa dia akan berhenti
berdagang. Salah satu imbas dari maksud hatinya tersebut adalah keluarnya
keputusan dari Ibu saya yang pada saat itu menamatkan sekolahnya di SMP Negeri
1 Batusangkar pada akhir tahun 1956 untuk berhenti sekolah; mengubur habis
cita-citanya untuk menjadi Guru, untuk melanjutkan pendidikannya ke SPG Negeri
di Padang Panjang dan kemudian melanjutkannya ke PTPG-FKIP Universitas Andalas; Perguruan Tinggi Pendidikan Guru yang
pada saat itu baru berdiri di Batusangkar sejak dia naik ke kelas II SMP (cikal bakal UNP sekarang). Dia tidak
ingin pendidikannya nanti patah di tengah jalan, jika benar terjadi ayahnya
akan berhenti dari usahanya. Sekaligus, semua itu sebagai “pasang badan” untuk memberi
jalan kepada adik-adiknya agar tetap bisa bersekolah. (Namun akhirnya, dia
sangat menyesali keputusannya tersebut, ternyata keputusannya salah besar, apa
boleh buat nasi sudah jadi bubur; ditambah lagi dengan satu fakta, ternyata
Datuk saya ini masih tetap diberi oleh Allah kekuatan untuk mencari uang sampai
dia menutup mata dalam usia 93 tahun, Subhanallah. Dan dia masih sempat
membiayai saya dan kedua kakak saya untuk kuliah, hingga kami ketiga-tiganya saat
ini menjadi guru.)
Datuk
saya ini adalah pejuang kemerdekaan Indonesia sejati. Dia sangat mencintai
semua titik jengkal wilayah di Negara ini. Sehingga, ketika masa pemberontakan
PRRI terjadi, dia nyaris dihabisi oleh para pemberontak, di saat usianya sudah
mendekati kepala 6 pada saat itu. Alasannya sederhana, dia tidak bersedia
bergabung dengan pemberontak, karena dia tidak ingin terlibat konflik dengan
orang-orang yang dulu sama-sama berjuang dengannya pada masa-masa sebelumnya
yang pada saat itu berdiri di pihak pemerintah pusat. Saya sendiri, tidak
pernah menanyakan secara persis, kenapa dia bisa lolos dari upaya untuk
melenyapkannya pada saat itu. Yang jelas, Allah sekali lagi menyelamatkan
nyawanya.
Datuk
saya ini sangat sayang kepada tempat dimana anak dan istrinya tinggal, termasuk
rumah gadang dimana ayahnya dilahirkan dan dibesarkan. Ini dibuktikannya dengan
mengeluarkan dana yang sangat banyak untuk melakukan renovasi besar terhadap
rumah gadang dimana kami tinggal pada tahun 1979, saat itu saya sudah duduk di
kelas III SD Negeri no.2 Kumango. Pada awalnya kami hanya berniat untuk
merombak tingkok (dinding depan) rumah gadang tersebut dengan menggunakan
sejumlah uang yang terkumpul dari hasil penjualan cengkeh yang harganya sangat
memakmurkan petani pada saat itu. Ketika diutarakan kondisi itu oleh Ibu saya,
ternyata beliau bersedia untuk menyanggupi pembiayaan rehab berat terhadap
rumah itu. Saya masih ingat, saya adalah orang selalu dengan setia menjemput
wesel kiriman beliau ke kantor Kepala Desa setiap kali kiriman uangnya sampai
ke Kumango dan kemudian mengantarkan ibu saya ke kantor Pos Batusangkar untuk
menguangkannya dengan menggunakan lembar kartu C7. Sedih sekali melihat rumah
gadang itu sekarang tersia-sia tanpa dihuni.
Pada
momen menjelang detik-detik peringatan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada
tahun 2016 ini, entah kenapa saya selalu teringat pada beliau. Dibalik sifatnya
yang keras, saya sangat mencintainya. Dia telah berkorban yang tidak sedikit
untuk Bangsa dan Negara ini, termasuk juga untuk anak dan cucunya. Khususnya
saya, kedua kakak saya, dan Ibu saya selama beliau hidup. Walaupun penghargaan
yang diberikan oleh pemerintah kepada beliau tidak sampai pada level Pahlawan
Kemerdekaan, bagi kami, dia adalah seorang Pahlawan besar. Semoga Allah
melapangkan kuburnya, menerima semua amal jariahnya, dan mengampuni segala
dosanya. Amin ya Robbal ‘Aalamien…..!
Payakumbuh, Jum’at, 9 Zulqaidah 1437 bertepatan
dengan 12 Agustus tahun 2016
1)
Eksistensi
Silat Tua Kumango ini pernah diekspos oleh Makmur Hendrik (Pendiri Perguruan
Silat Pat Ban Bu di Padang dan pengarang buku cerita Silat, Tikam Samurai yang
mengatakan kalau Silat Kumango adalah Silat yang paling tua di Minangkabau dan
sudah ada sejak tahun 400 masehi, berasal dari Biara Saolin di Tiongkok.
Keberadaan Silat Tua Kumango ini juga pernah di-iyakan oleh Nenek Saya, Salamah
Ibrahim yang mengatakan kalau di Rumah Gadang kami dulu pernah hidup seorang
jawara yang juga memakai gelar Pakieh Marajo seperti Inyiek Saya(Ayah dari
Datuk saya) di gelari oleh orang Kumango dengan Haji Bagak (namun sampai
tulisan ini saya turunkan, saya tidak tahu namanya, dan kami sendiri tidak tahu
dia beristri dengan siapa). Yang jelas, Haji Bagak ini hidup sebelum masa jaya
Angku Surau Subarang. Semasa dia hidup, dia sangat ditakuti oleh semua
lawan-lawannya dan disegani oleh semua kawan sepergaulan. Dari ibu saya, Smirna
Syamsuddin, kemudian saya mengetahui
kalau Haji Bagak ini semasa hidupnya juga guru Mengaji dan Surau-nya ada di
Polak Nenek Nurisa (Neneknya Surya Arson, Ibundanya Tek Yasti, Supanjang) yang
terdapat menjelang Tobek Tanjueng. Puing-puing pondasi surau itu (bekas
pondasinya) akan masih bisa dilihat dengan jelas jika polak itu di bersihkan.
Berbicara tentang Nenek Nurisa ini, dia termasuk kerabat khusus
buat keluarga saya, selain dia juga adalah orang Supanjang, dia juga adalah istri
dari Kakak Kandung Datuk saya, Haji Rasyad. Artinya, Ibu saya dengan Tek Yasti
adalah saudara sepupu.
2)
Mak Ai
(Muhammad Syarif), urang Caniago, adalah Guru Silat Kumango yang selain Silat
Kumango juga menguasai Silat Pauh, Padang dan sangat kenal gerakan-gerakan
silat, Lintau, Silat Sungai Patai, Silat Maninjau, dan Silat Pariaman. Selain
dari seorang guru Silat, dia juga dikenal sebagai paranormal dan tukang urut
semasa di hidup.
3) Mak Kin (Zakir), urang Supanjang Ilie,
Spesialis-nya memang Silat Kumango dan punya andil yang besar dalam
mempertahankan eksistensi Silat Kumango semasa beliau hidup;baik dengan
mengajarkannya pada orang Kumango sendiri, maupun pada orang luar Kumango.
4) Bunga Silat ini maksudnya gerakan-gerakan silat
yang biasa digunakan oleh para pendekar Silat untuk “bagaluik” atau bergurau sambil
mengulang-ulang langkah, sekaligus versi silat yang bisa dipertontonkan kepada
khalayak ramai.
5) Bung Hatta adalah sahabat dekat Datuk saya.
Kebetulan mereka sebaya, karena dilahirkan pada tahun 1902. Cuma, segmen
perjuangan mereka berbeda, Bung Hatta berjuang secara diplomatis, sementara
Datuk saya ini berjuang secara fisik. Dan dia mengisahkan, dia ikut
mengantarkannya ke Lapangan Terbang Gadut, Bukittinggi, ketika akan berangkat
kuliah ke Belanda. Selain dengan Bung Hatta beliau juga sangat kenal baik
dengan Buya Hamka yang umurnya 6 tahun lebih muda darinya.