Monday, August 15, 2016

PS.Syamsuddin



Tak banyak generasi Kumango zaman sekarang yang tahu nama ini barangkali. Kecuali mereka yang umurnya sebaya dengan saya, atau yang lebih tua. Apalagi jika disebutkan julukan untuk beliau yang lebih popular dikenal di Kumango, Angku Anda; maka generasi yang saya maksud akan lebih kenal dengan sosok ini.
Beliau adalah Datuk (Kakek) saya, Orang Piliang Laweh; dilahirkan di Kumango pada tahun 1902 dan wafat di Kota Lahat (Sumatera Selatan) pada akhir tahun 1995 dalam usia 93 tahun. Dua huruf pertama, PS, pada awal nama beliau adalah gelarnya, Pakieh Sutan, yang sangat dihargainya seumur hidupnya, sehingga, jika ada orang yang menulis namanya tanpa kedua huruf itu, dia akan marah besar dan mengatakan, “ada banyak orang yang bernama Syamsuddin di dunia ini, namun hanya ada satu PS.Syamsuddin.”  
Masyarakat Propinsi Sumatera Selatan mengenalnya sebagai salah seorang Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia dari kota Lahat, hal ini dikukuhkan oleh Surat Keputusan Pemerintah Republik Indonesia melalui SK Menteri Sosial pada tahun 1975; Artinya, beliau mendapatkan pengakuan dari pemerintah setelah berada pada umur 73 tahun. Sejak saat itu dia mendapatkan tunjangan hidup sebagai seorang perintis kemerdekaan dari pemerintah ditambah dengan hadiah sebuah rumah di Pusat kota Palembang.
Masa kecilnya dihabiskannya bersama Ayahnya, Ismail Pakieh Marajo, yang tak lain juga merupakan Inyiek oleh saya di Kota Padang Panjang. (karena Ayah dari Datuk saya ini adalah Mamak dari Nenek saya Salamah Ibrahim; artinya dengan menikahi Nenek saya dia pulang ka Bakonya di Rumah Godang Balakang, Supanjang Ilie). Karena susahnya perekonomian keluarga pada masa itu, dengan hanya mengandalkan pendapatan sebagai seorang tukang pati, Datuk saya ini hanya bisa disekolahkan oleh Ayahnya sampai Governemen School (selevel dengan SD pada zaman sekarang).
Tak lama setelah menamatkan sekolah Belanda tersebut, ketika memasuki usia remajanya, dia membuat sebuah keputusan besar dalam hidupnya, pergi merantau keluar dari Ranah Minang yang cukup membuat shock Ayahnya yang pada saat itu sudah memasuki usia senja.
Tak banyak yang saya ketahui daerah rantau pertama yang dijajaki oleh Datuk saya sesudah itu, yang saya simpulkan hanya satu hal dari setiap kali dia bercerita kepada saya ditiap kesempatan saya bertemu dengannya, baik disaat dia pulang kampung ke Kumango maupun pada kesempatan lain saya menghabiskan beberapa masa kecil saya di kota Lahat pada tahun 1975, maupun pada setiap waktu liburan sekolah ketika saya masih duduk di SMP Negeri Kumango dari pertengahan tahun 1983 – pertengahan tahun 1986; ….. dia adalah Rambo yang sebenarnya. Bukan tokoh fiktif seperti yang diperankan oleh Silverster Stalone dalam film Rambo-nya.
Kenapa saya katakan beliau adalah Rambo yang sebenarnya ? Begini kisahnya. Ini berawal ketika dia melihat seorang sahabat karibnya ditembak mati oleh Belanda karena temannya tersebut berusaha melarikan diri disaat akan ditangkap oleh tentara Belanda. Ya, temannya tersebut adalah seorang pemberontak Belanda pada masa itu. Semua itu terjadi disaat dia masih belajar bagaimana caranya menjadi seorang pedangang yang sukses. Pemandangan itu cukup memberikan trauma yang berat padanya, hingga semua perasaan itu berubah menjadi dendam kesumat kepada semua tentara Belanda.
Dari sinilah dimulai tahap kehidupannya yang berikutnya, sejak saat itu, hanya ada satu hal yang terbersit dalam pikirannya apabila melihat atau bertemu dengan tentara Belanda, membunuh mereka. Dan itu dilakukannya pada setiap kesempatan, yang mengakibatkan dia menjadi salah seorang buronan prioritas utama dari Penjajah Belanda pada masa itu. Dan yang paling membuat sakit hati Penjajah Belanda pada saat itu, setiap kali Datuk saya ini berhasil mereka tangkap hidup-hidup, dia selalu mampu meloloskan diri, dan lolosnya dia ini juga diiringi dengan berhasilnya dia menghabisi sejumlah tentara (kondisi ini terjadi pada masa sebelum Kemerdekaan).
Predikat sebagai sosok yang “the most wanted” dari penjajah itulah yang membuatnya akhirnya pindah dari satu tempat ke tempat lain di seluruh Indonesia ini. Sehingga, apabila berbicara tentang seluruh wilayah di Negara ini, akan sangat nyambung sekali dengannya. Dari seluruh wilayah Indonesia, hanya pulau Irian (Papua) yang belum pernah dijajakinya. Walaupun itu pernah hampir terjadi, ketika dia akan dibuang oleh Belanda ke Digul, Irian Jaya, namun dia berhasil melarikan diri sebelum kapal yang membawanya sampai kesitu.  Kondisi ini pulalah yang membuatnya memiliki 17 (tujuh belas) orang istri, artinya saya punya 17 orang Nenek;
·      3 (tiga) orang dari Kumango; yang pertama saya tidak tahu namanya, yang kedua adalah Nenek saya, Salamah Ibrahim yang dinikahinya sekitar tahun 1931 dan dari Nenek saya, Datuk saya mendapatkan 9 (sembilan) orang anak dan yang ketiga adalah Nenek Ramalah (orang Dalimo); dari nenek saya yang satu ini, Datuk saya dikaruniai 2 (dua) orang anak.
·      Istrinya yang 14 lagi saya tidak ingat secara pasti, tapi yang paling berkesan buat beliau adalah Istrinya yang berasal dari Gresik (Jawa Timur), karena dari istrinya ini dia memperoleh dua orang anak (sepasang). Datuk saya terpisah dengan mereka ketika dia dalam pengejaran Belanda hingga perahunya terbalik di dekat Pulau Bawean, dan dia dikabarkan gugur yang membuat istrinya tersebut sangat terpukul dan membawa kedua anaknya keluar dari Kota Gresik. Padahal sebenarnya, setelah kejadian tersebut, Datuk saya ini diselamatkan oleh beberapa orang Nelayan dan di bawa ke Singapura. Setelah pulih, dia kembali ke Gresik mencari Istri dan kedua anaknya tersebut, namun mereka tidak pernah dia temukan. Sekitar 14 tahun sejak kejadian itu, dia mendapatkan kabar kalau anak laki-lakinya tersebut mengikuti jejaknya sebagai pejuang dan gugur ditembak oleh Belanda dalam peristiwa Ambarawa. Yang paling membuat pilu hatinya adalah berita yang didapatnya tentang anak perempuannya, dia dinikahi oleh seorang Pemuka Agama Kristen (saya tidak tahu pasti Katholik atau Protestan) di kota Manado pada tahun 1947. Semua kondisi inilah yang mungkin membuatnya sangat “down” hingga akhirnya Belanda berhasil kembali menangkapnya pada masa Agresi sesudah Kemerdekaan ini; dia disiksa habis-habisan yang menyebabkan sebelah matanya (kanan) tidak pernah lagi bisa digunakannya sampai akhir hayatnya. Walaupun akhirnya dia masih tetap bisa melarikan diri dan menghabisi 2 orang lagi tentara Belanda. Sampai menjelang akhir hayatnya, dia masih berusaha untuk mendapatkan kabar tentang anaknya yang di Manado tersebut, namun tak ada hasil.
·      Istrinya yang lain yang sangat suka dia mengulang-ulang ceritanya pada saya adalah berasal dari Suku Dayak yang berada di sebuah Hulu sebuah di Kalimantan (saya lupa menyakan pada beliau nama Sungai itu, namun kalau tidak salah dia pernah menyebut sebuah tempat yang bernama Loh Meriem jika menceritakan babak hidupnya yang ini). Berawal dari keinginannya untuk menjalin hubungan bisnis dengan orang melayu yang berada di hilir sungai, dia kemudian tertantang untuk menjajaki lebih jauh hubungan dagang dengan komunitas suku dayak yang tinggal tidak jauh tinggal dari situ; melihat hasil yang lumayan dia akhirnya dia lebih tertantang lagi untuk mencoba menjajakan dagangannya kepada suku dayak yang hidup di hulu sungai itu. Dari sinilah cerita lain dimulai. Sebelum memutuskan berangkat ke tengah pemukiman suku dayak tersebut, dia sudah diperingatkan oleh teman-temannya pantangan-pantangan yang harus dijaganya selama berada ditengah-tengah mereka (orang Dayak dimaksud), namun setelah berada disana dia kecoplosan, hingga dia diultimatum oleh kepala sukunya dan diberi 2 pilihan sebagai hukuman, nyawa melayang (dipenggal kepalanya) atau memilih hidup dengan mereka dengan memperistri salah satu dari gadis yang mereka sodorkan. Tentu dia memilih opsi yang kedua. Tinggal-lah dia disana selama beberapa lama bersama istri barunya, sampai akhirnya dia menemukan kesempatan untuk kabur dan keluar dari kelompok tersebut.
·      Istrinya yang 12 orang lagi yang saya tahu 2 orang berasal dari tanah pasundan (orang Sunda). Dan sisanya, yang 10 orang kalau tidak salah berasal dari Meulaboh, Aceh; Tapak Tuan, Aceh; Deli Serdang; Jawa Tengah; Halmahera dan Ternate.

Datuk saya ini adalah seorang jagoan Silat Tua Kumango 1.) (aliran Silat Kumango yang sudah ada sebelum Silat Kumango versi Syech Abdurrahman Al-Khalidi dikembangkan). Hal ini mungkin tidak diketahui oleh banyak masyarakat Kumango bahkan anak cucunya yang lain. Ada tiga orang Kumango yang saya ketahui dan pernah bertemu dalam hidup saya yang menguasai Silat Tua ini, yaitu Datuk saya ini, Datuek Amik Polak – sepupunya, dan Datuek Mam Biloa (kakeknya Doni Saputra). Dia berkali-kali menegaskan kepada saya kalau dia tidak pernah belajar Silat Kepada Syech Abdurrahman dan aliran Silat yang dikuasainya tidak sama dengan yang dimiliki oleh Angku Surau Subarang. Dia hanya mengatakan, pernah mengulang-ulang langkah sebentar dengan Angku Surau Subarang tersebut.
Semua cerita petualangannya dan gerilyanya keseluruh Indonesia tersebut ditambah dengan kepiawaiannya menghabisi semua tentara Belanda yang ditemuinya-lah yang mendorong saya sejak saya kecil (umur 6 tahun), ketika saya mau masuk ke TK Bustanul Athfal untuk belajar Silat padanya, namun dia berdalih jika pada saat itu saya masih kecil. Ketika saya berumur 8 tahun, keinginan itu kembali saya utarakan ketika suatu ketika dia pulang kampung, dia masih mengatakan hal yang sama. Disaat saya sudah duduk di kelas V SD, dia mengatakan tidak ingin saya, cucunya seperti dia, dan dia menyuruh saya mencari guru yang lain. Hingga akhirnya Mak Ai / Mak Tuah ( Alm.) 2.) membuka pintu pada saya untuk menjadi muridnya
Setelah saya belajar dengan Mak Ai, ternyata dia cukup antusias untuk mengetahui bagaimana Silat yang saya pelajari, termasuk ketika saya mencoba belajar kembali dari awal dengan Mak Kin (Zakir) 3.). Namun yang selalu membuat kuping saya panas, setiap saat saya selesai menunjukkan semua yang sudah saya pelajari, dia selalu mengakhirinya dengan satu kalimat: kalau semua yang saya dapatkan masih bunganya 3) silat Kumango, belum lagi Silat Kumango yang sebenarnya.
Pada zaman penjajahan Jepang, Datuk saya ini kembali ke Kota Lahat. Kota yang sudah mulai dijajakinya sejak tahun 1923. Dia mencoba mengumpulkan kembali puing-puing usahanya yang terbengkalai ketika Belanda berkuasa. Ketika masa penjajahan Jepang, Datuk saya ini beristirahat dari kegiatan gerilya-nya. Dia berpikir, musuh besarnya, kelompok manusia yang sangat dibencinya, Belada, sudah angkat kaki dari bumi Indonesia, diusir oleh tentara Jepang. Pada usianya yang pada saat itu sudah masuk kepala 4, dia ingin mencoba hidup tenang setelah sekian lama dikejar-kejar oleh tentara penjajah Belanda. Satu hal yang sangat menyenangkan hatinya saat itu adalah, semua orang yang menjadi musuh utama Belanda pada saat itu sangat dihormati oleh Penjajah Jepang, termasuk dia sendiri. Sehingga, dia bisa pergi kemanapun yang dia mau; lalu lalang, bolak-balik dari Lahat ke Kumango selama zaman penjajahan Jepang dengan aman, tidak diusik oleh tentara Jepang. Sehingga, pemandangan yang kontras terlihat jelas pada kehidupan keluarganya pada masa itu di Kumango: disaat banyak orang lain hidup dalam penderitaan gara-gara kekejaman kelompok orang yang menjajah selama 3.5 tahun ini, dia tetap bisa menghidupi istri dan anak-anaknya secara normal, baik sandang maupun pangan. Hal ini tentu membuat heran orang Kumango yang lain, karena tentara Jepang, tidak berani menyentuh keluarga kami. Kondisi tenang seperti ini masih tetap bisa dinikmatinya sampai bererapa lama sesudah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di umumkan oleh Presiden Soekarno dan Sahabatnya, Bung Hatta 5). 
Namun semuanya berubah total ketika Belanda kembali berhasil masuk ke Indonesia dengan membonceng pada tentara Sekutu sehingga terjadi penjajahan jilid II dengan judul agresi Belanda dengan tentara NICA-nya. Yang memaksanya untuk kembali “turun gunung” pada usia yang tidak bisa dibilang muda lagi. Dan salah satu agenda kembalinya penjajah Belanda ke Indonesia pada masa itu, selain untuk merampas kembali kemerdekaan Indonesia yang sudah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945, juga untuk balas dendam padanya (Datuk saya ini). Sehingga, terjadilah peristiwa yang saya utarakan diatas (pasca tertembaknya anak laki-lakinya di Ambarawa).
Ketika Belanda berhasil kembali diusir dari Bumi Pertiwi ini, dia kembali ke Kota Lahat, Meneruskan usahanya untuk menafkahi istri dan anak-anaknya. Di Kota Lahat, dia berdagang tekstil dan pakaian jadi di Pasar Lematang, dan dari hasil usahanya setelah sekian lama, Allah memberinya karunia untuk memiliki 2 buah rumah di kota pendidikan itu, yaitu di Pasar Bawah dan di Lorong Kelana; rumah yang sangat sederhana, jauh dari kesan mewah. Keberadaannya di kota Lahat yang sudah sangat lama sekaligus telah banyak menarik perantau Minang lain mencoba peruntungan di kota ini, termasuk beberapa keponakan dan cucunya yang pada saat ini sudah banyak menetap di kota tersebut.
Ketika mulai melewati umur 50 tahun, setelah melewati trauma akibat agresi Belanda, Beliau sudah sering mengatakan kepada anak dan istrinya bahwa dia akan berhenti berdagang. Salah satu imbas dari maksud hatinya tersebut adalah keluarnya keputusan dari Ibu saya yang pada saat itu menamatkan sekolahnya di SMP Negeri 1 Batusangkar pada akhir tahun 1956 untuk berhenti sekolah; mengubur habis cita-citanya untuk menjadi Guru, untuk melanjutkan pendidikannya ke SPG Negeri di Padang Panjang dan kemudian melanjutkannya ke PTPG-FKIP Universitas Andalas; Perguruan Tinggi Pendidikan Guru yang pada saat itu baru berdiri di Batusangkar sejak dia naik ke kelas II SMP (cikal bakal UNP sekarang). Dia tidak ingin pendidikannya nanti patah di tengah jalan, jika benar terjadi ayahnya akan berhenti dari usahanya. Sekaligus, semua itu sebagai “pasang badan” untuk memberi jalan kepada adik-adiknya agar tetap bisa bersekolah. (Namun akhirnya, dia sangat menyesali keputusannya tersebut, ternyata keputusannya salah besar, apa boleh buat nasi sudah jadi bubur; ditambah lagi dengan satu fakta, ternyata Datuk saya ini masih tetap diberi oleh Allah kekuatan untuk mencari uang sampai dia menutup mata dalam usia 93 tahun, Subhanallah. Dan dia masih sempat membiayai saya dan kedua kakak saya untuk kuliah, hingga kami ketiga-tiganya saat ini menjadi guru.)
Datuk saya ini adalah pejuang kemerdekaan Indonesia sejati. Dia sangat mencintai semua titik jengkal wilayah di Negara ini. Sehingga, ketika masa pemberontakan PRRI terjadi, dia nyaris dihabisi oleh para pemberontak, di saat usianya sudah mendekati kepala 6 pada saat itu. Alasannya sederhana, dia tidak bersedia bergabung dengan pemberontak, karena dia tidak ingin terlibat konflik dengan orang-orang yang dulu sama-sama berjuang dengannya pada masa-masa sebelumnya yang pada saat itu berdiri di pihak pemerintah pusat. Saya sendiri, tidak pernah menanyakan secara persis, kenapa dia bisa lolos dari upaya untuk melenyapkannya pada saat itu. Yang jelas, Allah sekali lagi menyelamatkan nyawanya.   
Datuk saya ini sangat sayang kepada tempat dimana anak dan istrinya tinggal, termasuk rumah gadang dimana ayahnya dilahirkan dan dibesarkan. Ini dibuktikannya dengan mengeluarkan dana yang sangat banyak untuk melakukan renovasi besar terhadap rumah gadang dimana kami tinggal pada tahun 1979, saat itu saya sudah duduk di kelas III SD Negeri no.2 Kumango. Pada awalnya kami hanya berniat untuk merombak tingkok (dinding depan) rumah gadang tersebut dengan menggunakan sejumlah uang yang terkumpul dari hasil penjualan cengkeh yang harganya sangat memakmurkan petani pada saat itu. Ketika diutarakan kondisi itu oleh Ibu saya, ternyata beliau bersedia untuk menyanggupi pembiayaan rehab berat terhadap rumah itu. Saya masih ingat, saya adalah orang selalu dengan setia menjemput wesel kiriman beliau ke kantor Kepala Desa setiap kali kiriman uangnya sampai ke Kumango dan kemudian mengantarkan ibu saya ke kantor Pos Batusangkar untuk menguangkannya dengan menggunakan lembar kartu C7. Sedih sekali melihat rumah gadang itu sekarang tersia-sia tanpa dihuni.
Pada momen menjelang detik-detik peringatan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 2016 ini, entah kenapa saya selalu teringat pada beliau. Dibalik sifatnya yang keras, saya sangat mencintainya. Dia telah berkorban yang tidak sedikit untuk Bangsa dan Negara ini, termasuk juga untuk anak dan cucunya. Khususnya saya, kedua kakak saya, dan Ibu saya selama beliau hidup. Walaupun penghargaan yang diberikan oleh pemerintah kepada beliau tidak sampai pada level Pahlawan Kemerdekaan, bagi kami, dia adalah seorang Pahlawan besar. Semoga Allah melapangkan kuburnya, menerima semua amal jariahnya, dan mengampuni segala dosanya. Amin ya Robbal ‘Aalamien…..!


        Payakumbuh, Jum’at, 9 Zulqaidah 1437 bertepatan dengan 12 Agustus tahun 2016  





1)      Eksistensi Silat Tua Kumango ini pernah diekspos oleh Makmur Hendrik (Pendiri Perguruan Silat Pat Ban Bu di Padang dan pengarang buku cerita Silat, Tikam Samurai yang mengatakan kalau Silat Kumango adalah Silat yang paling tua di Minangkabau dan sudah ada sejak tahun 400 masehi, berasal dari Biara Saolin di Tiongkok. Keberadaan Silat Tua Kumango ini juga pernah di-iyakan oleh Nenek Saya, Salamah Ibrahim yang mengatakan kalau di Rumah Gadang kami dulu pernah hidup seorang jawara yang juga memakai gelar Pakieh Marajo seperti Inyiek Saya(Ayah dari Datuk saya) di gelari oleh orang Kumango dengan Haji Bagak (namun sampai tulisan ini saya turunkan, saya tidak tahu namanya, dan kami sendiri tidak tahu dia beristri dengan siapa). Yang jelas, Haji Bagak ini hidup sebelum masa jaya Angku Surau Subarang. Semasa dia hidup, dia sangat ditakuti oleh semua lawan-lawannya dan disegani oleh semua kawan sepergaulan. Dari ibu saya, Smirna Syamsuddin, kemudian  saya mengetahui kalau Haji Bagak ini semasa hidupnya juga guru Mengaji dan Surau-nya ada di Polak Nenek Nurisa (Neneknya Surya Arson, Ibundanya Tek Yasti, Supanjang) yang terdapat menjelang Tobek Tanjueng. Puing-puing pondasi surau itu (bekas pondasinya) akan masih bisa dilihat dengan jelas jika polak itu di bersihkan.
        Berbicara tentang  Nenek Nurisa ini, dia termasuk kerabat khusus buat keluarga saya, selain dia juga  adalah orang Supanjang, dia juga adalah istri dari Kakak Kandung Datuk saya, Haji Rasyad. Artinya, Ibu saya dengan Tek Yasti adalah saudara sepupu.
2)       Mak Ai (Muhammad Syarif), urang Caniago, adalah Guru Silat Kumango yang selain Silat Kumango juga menguasai Silat Pauh, Padang dan sangat kenal gerakan-gerakan silat, Lintau, Silat Sungai Patai, Silat Maninjau, dan Silat Pariaman. Selain dari seorang guru Silat, dia juga dikenal sebagai paranormal dan tukang urut semasa di hidup.  
3)    Mak Kin (Zakir), urang Supanjang Ilie, Spesialis-nya memang Silat Kumango dan punya andil yang besar dalam mempertahankan eksistensi Silat Kumango semasa beliau hidup;baik dengan mengajarkannya pada orang Kumango sendiri, maupun pada orang luar Kumango.
4)    Bunga Silat ini maksudnya gerakan-gerakan silat yang biasa digunakan oleh para pendekar Silat untuk “bagaluik” atau bergurau sambil mengulang-ulang langkah, sekaligus versi silat yang bisa dipertontonkan kepada khalayak ramai.
5)    Bung Hatta adalah sahabat dekat Datuk saya. Kebetulan mereka sebaya, karena dilahirkan pada tahun 1902. Cuma, segmen perjuangan mereka berbeda, Bung Hatta berjuang secara diplomatis, sementara Datuk saya ini berjuang secara fisik. Dan dia mengisahkan, dia ikut mengantarkannya ke Lapangan Terbang Gadut, Bukittinggi, ketika akan berangkat kuliah ke Belanda. Selain dengan Bung Hatta beliau juga sangat kenal baik dengan Buya Hamka yang umurnya 6 tahun lebih muda darinya.