Tentang Abhaque Supanjang


Dulu, waktu saya kecil sampai duduk di bangku TK, saya pernah bercita-cita untuk menjadi seorang sopir bus. Kenapa sopir bus ? Karena pada saat itu, saya melihat kalau sopir bus itu hidupnya enak, bisa pergi kemana-mana dengan busnya; ke Batusangkar, Bukittinggi, Padang, Pekanbaru, Medan, Jakarta, Bandung, Surabaya. "Jika aku jadi Sopir bus, aku akan keliling dunia dengan bus-ku dan kubawa serta ibuku bersamaku," begitu ungkapan saya pada masa itu. Kondisi ini juga didorong oleh rasa iba saya kepada Ibu yang dengan mengurut dada membesarkan saya dengan saudara-saudara saya dengan status single parent setelah perceraiannya dengan Bapak saya ketika saya berumur 2 tahun.

     Seiring dengan berjalannya waktu, ketika saya duduk di bangku Sekolah Dasar, cita-cita tersebut naik pangkat menjadi seorang Pilot pesawat terbang, karena pilot bisa terbang di angkasa dan bisa menempuh perjalanan yang jauh dalam waktu yang singkat.
         
     Ketika saya duduk di bangku SMP, aspirasi tersebut beralih kepada dokter; yah...ada kegaguman tersendiri di hati saya melihat sepak terjang para dokter dan kehidupan ekonomi mereka; berpakaian bersih , putih-putih setiap menjalankan tugas dan memiliki kemapanan hidup yang lebih dibanding profesi-profesi lain yang saya amati pada saat itu.

     Memang, faktor financial adalah alasan utama yang saya kemukakan dalam menentukan sebuah cita-cita pada masa itu. Dengan status sebagai seorang "anak yatim", hanya ada satu tekad di dalam hati saya pada saat itu; bagaimana caranya menyenangkan hidup ibu saya.

     Disaat saya menamatkan pendidikan di SMP, semua yang dicita-citakan tersebut agak berobah arah ketika saya akhirnya masuk STM negeri di kota Bukittinggi. Masuknya saya ke STM bukannya tanpa sebab; karena kuatnya pengaruh yang saya terima dari sejumlah orang; yang jelas ada dua orang; paman saya dan  salah seorang guru saya waktu di SMP. Paman saya menyuruh saya untuk masuh ke sekolah teknologi mene ngah tersebut dengan alasan masa depan tamatan STM jauh lebih baik dari mereka yang hanya tamat SMA. Apalagi, jika saya bisa mengambil jurusan listrik, diangkat menjadi pegawai PLN seperti dia, kecerahan masa depan sudah didepan mata tiga tahun kedepan. Lain lagi dengan yang dikatakan oleh seorang guru saya di SMP; dia memberikan contoh seorang tetangga di kampungnya yang tamat STM jurusan mesin tiga tahun sebelumnya, mengirimkan lamaran dan diterima bekerja di Caltex, Duri (Riau),  saat itu dia sudah hidup mapan - mempunyai mobil dan memiliki rumah. Dan keputusan untuk masuk ke sekolah yang sekarang berganti nama dengan SMK tersebut, pada saat itu juga didasari pada satu kondisi, setinggi apapun saya sekolah, toh, nantinya akan mencari uang juga. 

     Tak ada yang mendorong saya untuk melanjutkan sekolah ke SMA pada saat itu dan mengatakan kalau saya masih ingin menjadi seorang dokter, harus melalui bangku SMA; dan peluang untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi pun jauh lebih luas bila bersekolah di SMA.  

    Di lubuk hati saya yang paling dalam pada saat itu, sebenarnya ada keinginan yang kuat untuk ke SMA,  hal itu saya buktikan dengan pengurusan pindah rayon dari kabupaten Tanah Datar ke kota Padang dan mendaftar di SMA Negeri 1 Padang pada tahun ajaran kapan saya tamat SMP. Namun, terpaksa saya urungkan, karena ada kondisi lain yang juga akan menghadang i'tikat tersebut; kakek saya yang sebelumnya  merupakan sosok utama yang menyokong biaya pendidikan saya selalu mengatakan akan berhenti berdagang dalam waktu dekat; dan jika itu terjadi tentu pendidikan saya akan terhenti. 

     Akhirnya, masuklah saya ke STM di jurusan mesin otomotif. Disaat meniti pendidikan disana, saya masih diberi rahmat oleh Allah untuk mengukir prestasi akademis yang bagus seperti waktu di SMP dan SD. Buahnya, saya diberi kesempatan untuk mengambil PMDK di FPTK IKIP Padang pada saat saya akan  tamat, namun saya tolak karena satu alasan: saya tidak ingin menjadi seorang guru. 

     Ketika ijazah sudah ditangan, ada sejemput penyesalan juga di dalam dada ini pada saat itu, ketika  saya  mengetahui, tamatan FPTK IKIP Padang tidak selamanya harus menjadi guru; mereka juga menjadi rebutan  di dunia industri; bahkan dari sejumlah informasi yang saya peroleh pada saat itu mereka mampu menyaingi lulusan perguruan tinggi ternama di negara ini. Tapi biarlah, mungkin tidak ada takdir saya untuk berada  disana. 

     Disaat pembelian formulir SIPENMARU  (sekarang SNMPTN) tiba, saya mengisi dua perguruan tinggi sebagai pilihan; Teknik Mesin - Institut Teknologi Bandung dan Sastra Inggris - Universitas Andalas. Pengambilan Teknik Mesin sebagai pilihan pertama jelas karena saya adalah orang mesin, sementara Sastra Inggris yang diletakkan pada prioritas kedua karena saya merasa saya memiliki bakat khusus di bidang itu yang dibuktikan dengan prestasi yang bisa diperoleh selama di bangku sekolah - prestasi saya selalu paling menonjol pada mata pelajaran Bahasa Inggris. 

     Keinginan untuk menjadi seorang pilot masih menggebu pada saat itu; namun semuanya akhirnya buyar ketika saya mendapatkan informasi dari seorang staf di Bandara Tabing Padang tentang besar biaya yang harus dikeluarkan untuk mengikuti Diklat Penerbang tersebut; Rp-,750.000-, (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah) setiap bulan, pada saat itu. Mau dicari kemana uang sebanyak itu ? Sementara , sebagai  bahan perbandingan, gaji seorang guru PNS pada saat itu hanya sekitar RP-,45.000-, (empat puluh lima ribu rupiah) setiap bulannya. 

     Sepulangnya dari Bandara Tabing, saudara saya menyodorkan sebuah iklan peluang untuk mengikuti  diklat jangka panjang (Politeknik) selama 2 (dua) tahun dibidang Teknik Industri yang dibiayai oleh PT.Bridgestone Tire Indonesia, pabrik ban merek Bridgestone yang berlokasi di Pondok Ungu, Bekasi, Jawa Barat yang hanya akan menerima 24 orang peserta dari seluruh Indonesia. Tiap bulan diberi uang saku, tiap tahun mendapatkan jatah seragam dan sepatu layaknya karyawan perusahaan, makan tiga kali sehari, layanan kesehatan terjamin,  tinggal di asrama, semua keperluan pendidikan disediakan oleh perusahaan, pokoknya datang kesana hanya membawa satu tas pakaian harian yang akan dipakai selama masa pendidikan. Tentu saja saya sangat tertarik. Diklat tersebut bernama LLK-BS (Loka Latihan Keterampilan - Bridgestone).               
      Dengan tanpa beban, saya tulis dan kirim surat lamaran kesana. Kenapa saya bilang  tanpa beban ? Karena saya sadar, bersamaan dengan saat saya menulis surat tersebut, ada ratusan bahkan ribuan tamatan STM jurusan mesin seluruh Indonesia yang melakukan hal yang sama. Artinya, kemungkinan saya akan diterima adalah sangat kecil sekali.

     Beberapa hari sesudah itu, masa ujian SIPENMARU pun datang. Saya mendapat lokasi ujian (saya mengambil paket IPC) di SMEA Negeri Padang di Simpang Haru. Pas setelah saya selesai mengikuti ujian, saya dijemput oleh ibu dan kakak saya yang mengatakan saya harus segera bersiap-siap untuk pergi ke Jakarta untuk mengikuti test tulis masuk ke LLK-BS; rupanya lamaran saya diterima. Cukup deg-degan juga pada saat itu karena saya tidak pernah tahu materi tes-nya apa. Tapi, dengan mantap hati, akhirnya saya berangkat ke Jakarta dua hari sesudah itu; dengan membawa pakaian secukupnya; diantar oleh kakak dan ibu saya ke Terminal Bus Aur Kuning, Bukittinggi; saya berangkat ke kota metropolitan tersebut seorang diri naik bus ANS full AC.,Saya masih ingat betul, ongkos-nya pada saat itu adalah Rp-,45.000-, Sesampainya di Jakarta, saya langsung menuju ke kediaman bibi saya yang pada saat itu masih tinggal di Kelurahan Duri Pulo, Roxy, Jakarta Pusat. 

     Keesokan harinya, saya diantar oleh Paman saya untuk melakukan peninjauan lokasi, dan pada hari berikutnya langsung mengikuti ujian yang disyaratkan. Ada satu kebanggaan juga didalam hati pada saat itu, karena saya termasuk mereka yang beruntung diantara 750-an tamatan STM jurusan mesin yang mengirimkan lamaran. Masih seperti saat menulis surat lamaran, saya mengikuti semua ujian yang disyaratkan tanpa beban, karena saya tahu, yang menjadi saingan dalam mengikuti test tertulis kali tersebut adalah mereka yang terpilih dari sekian banyak pelamar. Dan, Allah-lah yang menolong, saya mampu melewati semua tahapan ujian ; menyisihkan semua pesaing-pesaing dari daerah lain; mulai dari test tertulis, wawancara, dan kesehatan.   

     Saat pengumuman hasil akhir-pun tiba, saya dinyatakan lulus. Ada getar hebat didalam dada ini pada saat itu; kenapa tidak, inilah tahap berikutnya dalam kisah hidup saya. Kemudian pihak LLK-BS memberi kami waktu pada saat itu sekitar satu minggu untuk kembali kerumah orangtua masing-masing untuk menjemput segala hal yang diperlukan selama menjalani Diklat. Saya putuskan pulang ke Kumango. Kepulangan pertama ini, saya naik bus Mersi, dengan ongkos kalau tidak salah masih Rp-,17.500-,. Satu hari di rumah, mengumpulkan beberapa potong pakaian yang akan dipakai selama pendidikan, saya berangkat kembali ke Jakarta dengan bus Jastra dari terminal Aur Kuning, Bukittinggi. 

     Setelah berada di LLK-BS lah saya bisa melihat fakta, betapa besarnya pengaruh ijazah pada pendidikan yang lebih tinggi jika kita ingin berkarier di sebuah institusi; ada celah perbedaan yang lumayan besar antara mereka yang masuk kerja dengan ijazah STM, Politeknik, dan Sarjana disana. Dan pada saat itulah, ada timbul kembali keinginan yang kuat untuk melanjutkan kuliah sekurang-kurangnya sampai tingkat sarjana. 

     Pada tahun 1991, sekitar dua bulan menjelang akhir masa pendidikan disana, ada kesempatan untuk menjadi karyawan perusahaan (PT.BS), tapi tidak saya ambil, karena saya ingin mencari suasana kerja lain diluar industri ban. Walaupun disisi lain, secara financial, harus saya akui, prospek keuangan saya akan sangat  cerah bila saya bergabung dengan perusahaan yang membiayai almamater saya tersebut. Bayangkan, apabila saya diterima bekerja disana pada saat itu, tiap bulan saya akan memperoleh gaji pokok sebesar Rp-,300.000-, (tiga ratus ribu rupiah). Itu baru gaji pokok. Bila ditambah dengan uang lembur, penghasilan bulanan disana bisa mencapai minimal Rp-,400.000-, pada saat itu. Sebagai bahan perbandingan, kakak saya yang sudah menjadi guru PNS pada saat itu hanya bergaji Rp-,65.000-, (enam puluh lima ribu rupiah) setiap bulan; dan uang Rp-,500.000-, (lima ratus ribu rupiah) pada saat itu sudah bisa dijadikan sebagai uang pangkal untuk mengambil satu petak rumah di sebuah Perumnas di tepi jalan raya Cakung, Jakarta, pada saat itu. Artinya, andaikan saja Allah memberikan kekuatan hati pada saya untuk bertahan disana, dalam waktu 3 bulan, Insya Allah saya tentu sudah memiliki rumah disana. Tapi Dia berkehendak lain.

     Setamat dari sana, saya coba melamar ke sejumlah perusahaan; setelah masa satu bulan tidak ada tanggapan, saya pustuskan kembali ke kampung halaman; tidak ke Kumango tapi ke Padang di tempat bibi saya. Ternyata, selama saya di Padang, ada dua panggilan kerja yang saya peroleh; yang pertama ke alamat bibi saya yang di Roxy dan yang satu lagi ke Kumango; yang satu panggilan untuk bekerja ke Irian Jaya (teknisi untuk eksplorasi hutan) dan yang satu lagi karyawan untuk kantor cabang pemasaran sebuah perusahaan di Hongkong; tapi sayangnya, surat panggilan keduanya terlambat saya terima. 

     Pulang selama satu bulan ke kampung halaman, saya mencoba kembali mengirimkan lamaran kerja ke banyak perusahaan, tapi hasilnya nihil. Bulan berikutnya saya putuskan untuk menetap di Padang sambil tetap mencoba mencari peluang kerja, hasilnya sama, tidak ada panggilan. Untuk memanfaatkan waktu yang terluang, saya isi hari-hari dengan kursus komputer (program operator, dasar satu, dasar dua, flowchart,  dan dbaseIII+) dan Bahasa Inggris di LBA Padang (basic III dan IV).

     Setelah sekian lama mencoba berusaha mendapatkan pekerjaan dengan ijazah yang ditangan saya namun gagal, terbukalah pikiran kembali untuk kuliah. Ada beberapa pilihan didepan mata pada saat itu; fakultas ekonomi, hukum, atau Pendidikan Bahasa Inggris. Kemudian setelah menimbang depan belakang, sekaligus potensi yang akan menunjang perkuliahan saya kedepan, dengan membaca Bismillahirrahmaanirrahiim, saya masuk ke STKIP PGRI SumBar Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris. 
     
     Pada awal masuk kesana, saya masih kukuh pada pendirian untuk tidak akan menjadi guru, namun disinilah Allah menunjukkan Kuasanya, semakin saya lari dari profesi guru, semakin banyak peluang terbuka dibelakang saya untuk berkecimpung pada dunia yang satu ini. Setelah menjalani kuliah selama satu tahun (tahun 1993), saya mulai mencoba mengikuti kemana muara dari arus kehidupan saya dengan memulai karier mengajar Bahasa Inggris saya di sebuah Lembaga Pendidikan Bahasa Inggris milik seorang teman di Simpang Haru, Padang. Saya coba untuk menerima kenyataan, mungkin saya memang lebih pantas untuk menjadi seorang guru, ketimbang profesi lain. Tahun 1995-1997, saya diberi kesempatan untuk mengajar di sebuah Lembaga Pendidikan Keterampilan terbesar di kota Padang pada saat itu. Setelah keluar dari sana, dipertengahan  tahun 1997, saya putuskan untuk mengajar privat Bahasa Inggris door-to-door ditambah beberapa jam tatap muka sebagai Dosen Luar biasa di sebuah perguruan tinggi dan guru di sebuah SD Islam. 

     Keasyikan saya mengajar cukup menyita hari-hari saya pada saat itu, hingga agak terlambat menyelesaikan kuliah saya. Dengan rahmat Allah ditambah dorongan dari orang-orang dekat saya, saya kuatkan hati menuntaskan skripsi yang terbengkalai selama beberapa waktu, akhirnya pada bulan Juni 1998, saya diwisuda sebagai Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris dengan predikat sangat memuaskan; IP lokal:3,93 dan IP Ujian Negara: 3,64. 

     Hidup saya sangat berliku. Namun tidak ada yang perlu saya sesali dari semua yang telah terjadi, karena semuanya ada manfaatnya buat kehidupan saya pada masa sekarang dan masa yang akan datang, Insya Allah. Jika tidak, tentu Dia akan memberikan garis karier yang lurus buat saya sejak dari dulu; setamat SMP, masuk SPG, lalu diterima di Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris di IKIP Padang, dan jadi guru. Tapi Dia mempunyai rencana yang lebih baik buat saya. 

     Dan dalam setiap kesempatan saya mengajar, saya selalu berusaha memberikan bimbingan karier praktis kepada anak didik saya; agar mereka bisa melihat jalan panjang kedepan yang akan mereka tempuh dan agar mereka bisa berkaca diri untuk melihat potensi diri yang mereka miliki; agar mereka merebut peluang sekecil apapun untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi.