Kumango


Kumango adalah sebuah nagari yang berada di kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, Propinsi Sumatera Barat, Indonesia. Nagari ini terdiri atas dua jorong; Kumango Utara dan Kumango Selatan. Nagari ini dilingkungi oleh beberapa Nagari bertetangga; Rao-rao disebelah Barat, Sumanik disebelah Timur, Sungai Leman di sebelah Tenggara, Situmbuk disebelah Utara, dan Pasie Laweh disebelah Selatan). Nagari ini terletak di pinggang Gunung Merapi, sehingga berhawa sejuk. Ada lagi, ada dua buah batang air (sungai)yang melewati tanah leluhur saya ini, yang agak besar dan mengandung jeram adalah Batang Simpai disebelah Utara, sementara ditengah-tengahnya dilewati lagi oleh sebuah batang air kecil: keduanya mengalir dari Barat ke Timur.Disaat pemerintahan desa diterapkan di Republik ini, kedua jorong ini adalah dua buah desa. Populasi penduduk Kumango asli lebih terpusat di Kumango Utara.
Orang Kumango yang tinggal di kampung menjalani profesi yang beragam; bertani, berternak, guru, membuka warung barang harian, membuat usaha produksi dan pejualan kerupuk jangek, menjahit, berdagang (biasanya dari pasar ke pasar; pasar Rao-rao, di Sumanik, Salimpaung, Tabek Patah, Sungai Tarab, dan Pasar Batusangkar), menjahit, dan lain-lain.
Dulu, Kumango Selatan merupakan ladang (lahan perkebunan) untuk orang-orang Kumango yang tinggal di Kumango Utara. Pagi hari, mereka berangkat ke kebun mereka di wilayah ini; membersihkan rumput yang tumbuh di lahan mereka, bertanam, lalu sore harinya mereka kembali pulang ke Utara.  Sekarang, semua itu mulai bergeser. Pertumbuhan populasi dan perekonomian lebih dinamis di wilayah  selatan dibandingkan yang disebelah utara, alasannya satu; wilayah Kumango Selatan dilalui oleh jalan propinsi yang menghubungkan kota Batusangkar dengan Payakumbuh dan Bukittinggi sekaligus juga jalan pintas menuju daerah Sawahlunto / Sijunjung apabila seseorang berangkat dari Bukittinggi, termasuk juga dalam hal ini bus-bus yang akan menuju ke Pekanbaru dari dan ke  Batusangkar. Untuk pergi ke danau Singkarak dari Payakumbuh dan Bukittinggi juga melalui Batusangkar via Kumango Selatan juga merupakan pilihan rute yang tepat. Itulah alasannya, kenapa wilayah Selatan Kumango ini, pada saat ini lebih menjanjikan untuk membuka usaha dibandingkan dengan wilayah utara. Tidak hanya mereka yang notabene-nya keturunan orang Kumango yang pada saat ini “ekspansi” ke wilayah ini, tapi juga orang-orang yang berasal dari luar Kumango.
Ada yang berkata, Kumango tersebut berasal dari kata “Kunango” atau kenanga, karena katanya di tanah ini dulunya banyak tumbuh bunga kenanga yang indah-indah. Kerena pergeseran bahasa, bunyi “n” tersebut beralih ke “m” sehingga menjadi Kumango. Ada lagi yang berkata Kumango tersebut berasal dari bahasa Campa, sebuah wilayah Islam di Kamboja. Entah yang mana yang lebih benar, kita serahkan saja pada Allah. Yang jelas sejarah Kumango memang tidak pernah dibukukan, sehingga sulit untuk dilacak. Yang didapat hanyalah cerita atau referensi dari tetua-tetua yang masih hidup yang juga mendapatkan cerita yang sama dari pendahulunya. Tapi, walaubagaimanapun, informasi dari orang yang berasal dari Kumango sendiri tentu lebih kuat dibandingkan asumsi-asumsi yang dilontarkan oleh mereka yang tidak begitu mengenal seluk-beluk Nagari Kumango berikut masyarakatnya. Melihat pendapat kedua, saya pingin sekali pergi ke Campa tersebut (orang Kumango menyebutnya Campo), untuk mencari tahu kalau ada kosa kata „Kumango“ dalam bahasa mereka. Seandainya ada, berarti pendapat yang kedualah yang benar.
Ada beberapa suku yang tinggal di Nagari Kumango; Piliang Sani, Piliang Laweh, Piliang Balai-balai, Bendang (Bendang Ateh, Bendang Tongah, Bendang Ilie, Bendang Bajapuk), Caniago, Supanjang (Supanjang Ateh, Supanjang Tongah, Supanjang Ilie), Tanjueng, dan Dalimo.
Orang Koto Piliang memang jumlahnya mayoritas di Kumango; sementara orang Bodi Caniago tidak sebanyak mereka, hingga timbul-lah kesepakatan niniek mamak dari ketiga pasukuan Bodi Caniago (Supanjang, Bendang, dan Caniago) untuk membuat semacam merger hingga muncul suku baru yang bernama Tigo Niniek. Dengan munculnya suku Tigo Niniek ini, maka status suku Supanjang, Bendang, dan Caniago berubah menjadi paruik (suku kecil). Yang unik dari Suku 3 Niniek ini adalah, orang dari paruik Supanjang dengan Caniago dilarang untuk menikah, tapi dengan orang Bendang malah diperbolehkan.
Dilihat dari jumlah populasi penduduk, orang Kumango tidaklah banyak. Hal utama yang menyebabkan hal ini terjadi adalah adanya kecenderungan para orangtua di Kumango untuk menyuruh anak-anaknya merantau apabila mereka sudah beranjak dewasa, tak peduli apakah itu untuk melanjutkan pendidikan ataupun untuk dititipkan ke sanak saudara mereka yang sudah sukses di rantau orang dengan usaha mereka (misalnya berdagang). Konsekwensinya, banyak orang Kumango yang menikah atau dinikahi oleh mereka yang berasal dari luar Kumango; beranak-bercucu-bercicit dan sebagainya; tidak sedikit mereka itu yang tidak mengenal apa-apa lagi tentang tanah leluhur mereka.
Ada beberapa kata yang sangat dekat dengan eksistensi orang Kumango di dunia ini; silat, barang kelontong, kerupuk jangek, dan yang cukup menjadi pembicaraan adalah masakan orang Kumango seperti pical Kumango, gulai banak (otak) Kumango, kacang gulo (gula) Kumango, dan randang  baluik (rendang belut) Kumango.

1.     Silat Kumango
Orang-orang yang pernah belajar silat, apabila berkenalan dengan orang Kumango, akan menganggap dia jagoan silat, padahal belum tentu benar. Silat Kumango termasuk silat yang paling tua di Minangkabau. Pada awalnya, silek ini hanya diajarkan untuk mereka-mereka yang punya hubungan darah dengan orang Kumango. Tua-tua (guru-guru) sileknya sangat teguh memegang prinsip ini, hingga hanya orang Kumango-lah yang menguasai silek tuo itu. Memang pada masa itu sudah banyak yang mengajarkannya kepada mereka yang berasal dari luar Kumango, tapi yang diajarkan tersebut sifatnya hanya bunga-nya saja (dipakai untuk berkelakar atau tidak akan berakibat fatal kepada lawan).
Ada dua versi yang saya dapat tentang asal muasal silek Kumango; dari Shaolin (China) dan dari Campa (Kamboja).
Yang menyebut silek Kumango tersebut berasal dari biara Shaolin karena hampir semua langkah (silek Kumango menyebut kata “jurus” dengan “langkah”) yang ada pada Silat Kumango juga ada ditemukan di Kungfu Shaolin. Sementara yang mengungkapkan Silek Kumango itu berasal dari Campo, Kamboja, karena banyak langkah yang diajarkan berkiblat ke harimau campo.
Darimanapun asalnya silek Kumango tersebut, yang jelas, jenis beladiri yang satu ini seperti pusaka yang tersimpan rapi hanya ditangan orang Kumango selama ratusan tahun. Hingga, Syech Abdurrahman Al-Khalidi merubah semua hal itu. Sejak beliau kembali ke Kumango dari perantauan seberang dan  membina Surau Subarang di Kumango, beliau mengajarkan Silek Kumango yang telah dikombinasikannya dengan falsafah dan tarikat Islam yang telah didalaminya selama beliau merantau. Beliau mengajarkan silek Kumango baru yang setiap langkahnya tidak lepas dari asma Allah. Ada yang mengatakan silek yang diajarkan oleh Angku ini merupakan gabungan antara silek Kumango tuo dengan silek-nya Ali bin Abi Thalib.Dan silek inipun berkembang begitu pesatnya melalui tepuk dan langkah murid-muridnya yang datang dari segala penjuru.
Apabila seseorang ingin belajar silek Kumango, dia harus menyerahkan sejumlah syarat kepada Gurunya. Yang paling umum adalah kain kafan sekabung, pisau belati, garam, dan tujuh butir lado (cabe merah.). Tidak diketahui secara pasti, apakah penyerahan syarat awal sebelum belajar kepada Tuo Silek tersebut merupakan syarat yang  sudah ditetapkan sejak zaman dahulu, atau dimulai sejak penyebaran suluk, tarikat, beserta silek yang dimotori oleh Angku Surau Subarang tersebut (orang Kumango menyebut orang siak atau orang yang alim / ulama dalam agama Islam atau siapa yang membina surau dengan Angku, sebutlah Angku Godang; Anak dari Syech Abdurrahman, Angku Tamin, Angku Bidin (Zainal Abidin.AR), Angku Salieh (Buya Saleh Ja’far), Angku Surau Bonjo, Angku Kesah (Buya Kesah Syarbaini, dan lain-lain).   
Pada silek Kumango tua, setelah penyerahan syarat dari sang murid kepada gurunya;
·        dia akan diajar semua langkah-langkah silek dalam beberapa bulan;
·        setelah simurid menguasai semua materi yang diajarkan, tahap berikutnya, siguru membuka pintu bathin si murid dan mengajarkan beberapa ilmu bathin yang menjadi pendamping untuk silek lahir yang telah dia kuasai. Tidak semua murid yang bisa masuk tahap ini, hanya mereka yang dianggap oleh sang guru mampu untuk memikul ilmu bathin-lah  yang diizinkan untuk melanjutkan, sementara yang tidak mampu, berhenti setelah menyelesaikan tahap yang pertama;
·         sehabis periode ini, simurid akan dilatih lebih lanjut oleh Sang Guru melalui mimpi; percaya atau tidak. Disini, selain dari siguru sendiri yang akan mengajar, beliau juga akan mengontak „arwah“ Tua-tua Silek yang sudah almarhum untuk melatih dan mencoba muridnya ini. Tahap yang satu ini biasanya memakan waktu yang cukup lama, dan keesokan harinya mereka akan berdiskusi tentang ilmu yang didapat oleh si murid pada malam sebelumnya dan kemudian melatihkannya kembali;
·        Setelah semuanya telah dirasa lengkap oleh Sang Guru, tibalah masa pamutusan kaji – menamatkan pelajaran; Sang Guru melakukan penerawangan mencari waktu tengah hari – disaat matahari tepat diubun-ubun dan burung elang berkulik. Pada saat ini dia akan menyerang muridnya habis-habisan; jika si murid bisa bertahan – luluslah dia, jika tidak – dia harus berlatih lebih keras agar bisa tamat.
        Jika waktu ini tidak ditemukan, ada alternatif kedua; malam Jum’at pada bulan purnama; Sang Guru akan „memanggil“ Sang Harimau Campo; dan „Inyiek“ itulah yang akan menentukan si Murid layak lulus atau tidak. Sayangnya, semua itu saat ini hanya tinggal cerita.

Pada saat sekarang, silek Kumango yang berkembang sampai ke seantero dunia adalah yang digodok oleh Angku Surau Subarang, sementara Silek Kumango tuo tidak begitu diketahui lagi siapa „Suhu-nya“, kalaupun masih ada yang menguasai mungkin sudah banyak dipengaruhi oleh langkah-langkah yang dikembangkan oleh Syech Abdurrahman atau mereka akan tetap bertahan pada prinsip leluhur; tidak akan pernah mengajarkannya pada orang-orang yang berasal dari luar Kumango.

2. Barang Kumango
Pada zaman dahulu, Nagari Kumango memiliki saudagar-saudagar kaya yang berhasil. Pada awalnya, mereka lebih banyak yang berkonsentrasi pada penjualan barang-barang kelontong, dan mereka menyebar keseluruh pelosok Indonesia; sebutlah tetangga sekitar Kumango – Batusangkar, Bukittinggi, Padang, Medan, Barus, Sibolga, Pekanbaru, Jakarta, Lubuklinggau, Irian, Maluku, Ternate, dan banyak lagi ...adalah contoh daerah-daerah yang sudah pernah dipegang oleh pengusaha-pengusaha tersebut.
Monumen kejayaan itu sampai sekarang masih bisa kita dapatkan di kota Padang, Pasar Gadang di kota Padang dulunya sebagian besar adalah milik saudagar-saudagar asal Kumango, sampai sekarang disana masih ada sebuah surau yang disebut dengan Surau Kumango; di Medan masih ada sebuah jalan yang dinamakan Jalan Kumango; di Bukittinggi, tepatnya di Pasar Atas  blok pasar lama, disana ada juga Jalan Kumango.
Ditempat-tempat itulah dulu mereka merenda kemakmuran dengan berjualan barang-barang kelontong. Disetiap tempat pada masa itu, mereka yang berjualan kelontong adalah orang Kumango, atau pedagang besarnya (grosir) adalah orang Kumango, hingga barang kelontong sangat identik dengan orang-orang Kumango, sehingga disebut barang Kumango.
Semua orang Kumango yang menjadi pengusaha kaya tersebut pada umumnya memulai langkah usahanya sendirian; mereka melakukan survey wilayah sendiri, mencari tempat usaha sendirian, menghadapi segala macam bahaya dan tantangan juga sendirian. Sepak-terjang para saudagar ini juga merupakan saluran-saluran yang ikut mempopulerkan silek Kumango. Setelah semuanya lancar, tidak begitu ada lagi rintangan yang menghadang; barulah mereka pulang kampung ke Kumango untuk menjemput sanak saudaranya untuk ikut bersamanya berdagang, baik untuk membuka usaha selevel atau untuk menjadi anggotanya atau menjadi pedagang kaki lima (eceran).
Pada saat ini, para pedagang Kumango memang tidak lagi dominan menjual barang kelontong, justru saat ini banyak yang melirik usaha dagang pakaian (baik dasar maupun jadi, termasuk kerabat saya yang berdagang di kota Lahat, Sumatera Selatan) tapi image sebagai saudagar besar barang kelontong itu tidak akan hilang dari mata orang-orang yang tahu sejarah.

3. Kerupuk Jangek Kumango
Apabila anda penggemar kerupuk terutama kerupuk jangek (kerupuk yang berasal dari kulit kerbau), anda harus mencoba kerupuk jangek Kumango. Cita rasa kerupuk yang satu ini, apabila diolah oleh orang Kumango, tak ada lawan. Memang, kerupuk jangek adalah kata lain yang ikut mengabadikan nama Kumango ditengah pasar. Karena kualitasnya yang sekelas diatas produk sejenis yang berasal dari daerah lain, membuat harga kerupuk asal Kumango ini sedikit lebih mahal di pasaran.
Keterampilan membuat kerupuk jangek ini, dibawa oleh Angku Surau Subarang ketika dia „come back“ dari Malaysia, dia kemudian mengajarkannya kepada sejumlah masyarakat Kumango yang berminat. Pada saat ini, usaha kerupuk jangek Kumango ini bisa ditemukan di Kumango sendiri, Batusangkar, Bukittinggi, Payakumbuh, Pekanbaru dan beberapa daerah lain.

Selain dari yang tiga diatas, sebenarnya orang-orang Kumango juga dikenal pintar memasak, baik yang laki-laki maupun yang perempuannya. Sebutlah: pical Kumango, randang baluik (rendang belut) Kumango, gulai banak (otak) Kumango, kacang gulo (gula), dan lain-lain.
Yang khas dari pical Kumango ini adalah: kuahnya adalah kuah kacang yang dimasak hingga matang hingga enak sekali, memakai lontong yang dibungkus daun pisang, dan memakai parutan pepaya muda rebus. Di Kumango masih ada pedagangnya, sementara kalau di Payakumbuh bisa mengunjungi Lontong Karuik di Pasar Payakumbuh.
Orang Kumango yang membuka usaha restoran atau rumah makan tidak banyak, hingga kepiawaian mereka dalam memasak tidaklah begitu dikenal seperti silek, berdagang, atau membuat kerupuk jangek. Namun, apabila anda mau berkunjung ke rumah orang Kumango (terutama yang tinggal di kampung), apalagi memesan “pingin” makanan yang tersebut, maka anda akan menikmatinya, terutama sekali disaat suasana dua Hari Raya dan memasuki bulan Ramadhan (akhir bulan Sya’ban)
Saat ini orang Kumango (atau keturunan orang Kumango) sudah ada dimana-mana. Namun belum ada yang bisa merangkul semua unsur masyarakat Kumango perantauan ini. Mudah-mudahan saja suatu saat nanti bisa diwujudkan.


                                                                                                         Payakumbuh, 1 Desember 2010